“Ka cilaka dik!!” ucap Parto dengan gaya ludrukan dialek Maduranya yang medhok. Lelaki pemilik pabrik krupuk itu tiba-tiba saja mengomel tak jelas juntrungannya. Sementara itu para pengunjung warung Yu Paijem hanya memandangi Parto dengan raut muka penuh keheranan karena Parto yang biasanya dikenal penuh lelucon itu tiba-tiba tampak serius sekali.
Sementara itu, Dulkamdi yang duduk di pojok warung terlihat memberi isyarat kepada teman-temannya dengan menempelkan jari telunjuknya ke tengah jidatnya. Beberapa orang yang melihat tingkah Dulkamdi hanya membalas dengan senyuman. Semua orang paham apa yang dimaksud dengan isyarat Dulkamdi tersebut. Sarju yang duduk persis di kiri Dulkamdi langsung menyodok lengan Dulkamdi ketika dilihatnya Parto melayangkan pandangannya ke arah Dulkamdi.
“Sampeyan iku singgendheng! Dasar wedhus budheg!” ucap Parto bersungut-sungut sembari berjalan menuju Dulkamdi. Tak ayal lagi pengunjung warungpun tertawa terbahak-bahak ketika mendengar ucapan Parto yang ditujukan kepada Dulkamdi tersebut.
“Ben! Aku memang gendheng!” jawab Dulkamdi singkat sambil tertawa lepas tanpa sedikitpun marah oleh perkataan Parto. Di warung Yu Paijem, menyebut seseorang dengan sebutan wedhus, gendheng, kenthir atau bluluk itu sudah hal biasa tanpa merasa direndahkan sama sekali. Bahkan mereka merasasebutan-sebutan itu membuat kangen apabila lama tidak mendengarnya. Dasar jamaah warung yang bocor alus! Halah mengapa aku juga ikut-ikutan kenthhir.
“memangnya ada apa To? Pagi-pagi sudah kayak pemain kuda lumping kesurupan gitu?” tanya Dulkamdi sambil menyerahkan sepiring tempe goreng kepada Parto. Tanpa menunggu dipersilahkan, tangan Parto langsung mencomot 2 buah tempe goreng sekaligus. Giginya yang sedikit merongos itupun langsung menggigit tempe goreng tersebut dengan penuh kegeraman. Ketika mulutnya melumat sebuah cabe merah, spontan mukanya langsung ikut-ikutan memerah karena kepedasan.
“Jancuk! Pedes tibake!” umpat Parto sambil meraih kendi berisi air minum yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk. Mendengar Parto kepedasan, Dulkamdi langsung tertawa disusul oleh kawan-kawannya yang lain.
“Hlawong itu sudah menjadi pantangan kok ya dilanggar! Nanti kalau kualat dan benar-benar terjadi baru tahu rasa!” ucap Parto lagi sambil mencomot kembali sebuah tempe goreng dan memesan sepiring nasi sayur lodeh kepada Yu Paijem.
“Apa yang sampeyan maksud itu lakon wayang kulit kemarin malam?” tanya Cak Jhon yang sedari tadi terlihat sibuk memelototi kertas ramalan togel miliknya.
“Kamu tahu apa Jhon! Angka pasangan togelmu saja selalu blong gitu. Gak usah ikut-ikutan obrolan orang dewasa . Belum cukup umur,” jawab parto sambil menyendok sepiring nasi lodehnya. Dikatakan belum dewasa, Cak Jhon hanya membalas perkataan Parto dengan tawa yang tak kalah gembiranya. Tak sedikitpun ia tersinggung oleh ledekan Parto. Sedetik kemudian warung menjadi senyap, semua larut dengan pikirannya masing-masing. Sesekali saja terdengar bunyi sendok yang beradu dengan piring lalu disusul bunyi mulut yang tengah mensruput kopi yang nikmatnya tiada batas itu.
“Kayaknya angka buntutnya 0,” seru Cak Jhon kegirangan. Suara tukang becak itu seperti memecah kesunyian warung. Mukanya yang gelap karena terbakar terik matahari itu tampak berseri-seri karena berhasil mengotak-atik gambar-gambar yang tertera di kertas ramalan togel yang sedari tadi dipelototinya.
“Kok bisa?” sahut Supar sembari beringsut mendekati Cak Jhon. Lelaki yang setiap harinya berprofesi sebagai tukang ojek itu tampaknya mulai terprovokasi juga oleh ucapan Cak Jhon yang mirip dengan tukang jamu di pasar malam Kenjeran. Sedetik kemudian Supar sudah mulai ikut-ikutan memelototi selembar kertas yang berisi ramalan togel. Dahinya terlihat berkerut seperti ketua partai yang tengah memikirkan ruwetnya pemilu.
“Gambar pohon terbalik ini khan artinya rungkat. Rungkat itu khan artinya tercerabut sampai ke akar-akarnya hingga akhirnya mati. Mati itu artinya kosong. Kosong itu dilambangkan dengan anka 0,” jawab Cak Jhon semangat.
“Buntutnya jelas 0 Cak. Sekarang tinggal cari kepalanya!” pancing Supar sambil ikut-ikutan mencorat-coret kertas ramalan togel yang berisi aneka gambar yang tak karuan tersebut.
Ini betul-betul aneh! Kok bisa-bisanya kertas ramalan togel hari ini sama persis dengan lakon pagelaran wayang kulit kemarin malam?” tanya Karim kepada Cak Jhon keheranan.
“Ya bisa saja! Namanya juga takdir,” jawab Cak Jhon ringan.
“Jangan-jangan ini bagian dari skenario kualat itu?” sahut Jupri bergidik. Mukanya terlihat cemas. Mungkin ia membayangkan akan terjadi semacam tragedi atau apa gitu.
Menurut jamaah warung Yu Paijem, konon kabarnya, santer diberitakan bahwa sudah sejak lama Pak Kades berniat menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Dan sudah menjadi rahasia umum pula bahwa sebenarnya bbukan pagelaran wayang kulitnya itu yang diidam-idamkan oleh Pak Kades. Yang sesungguhnya sangat diinginkan oleh Pak Kades adalah penampilan sinden Cempluk yang semok tur ganjen itu. Tapi karena sinden Cempluk dan pagelaran wayang kulit adalah satu paket, maka mau tidak mau Pak Kades terpaksa harus menerima dengan ikhlas paketan tersebut, karena memang tidak dijual terpisah oleh Ki Dalang Rekso.
Dan entah memang baru takdirnya atau bagaimana, setelah 10 tahun menjabat Kades, baru kali ini niat Pak Kades tersebut terlaksana. Mungkin saking berjubelnya antrian tanggapan sinden Cempluk. Dan entah bagaimana pula lakon yang ditampilkan adalah Alengka Rungkat. Padahal lakon tersebut menurut para sesepuh desa adalah lakon yang tabu atau lakon pantangan untuk dimainkan di desa tersebut.
Dan masih menurut para sesepuh desa, Jika ada yang berani melanggar pantangan tersebut maka dapat dipastikan itu akan menjadi pertanda buruk bagi yang menggelarnya. Lakon itu menurut sesepuh desa akan berubah menjadi semacam kutukan untuk yang berani melanggarnya.
Dan entah mengapa pula Pak Kades seperti tak peduli atau tidak menyadari sama sekali tentang petuah sesepuh desa. Mungkin karena ia saking kepincutnya dengan sinden Cempluk, sinden yang super kemayu tur semok wal seksi itu. Pak Kades baru sadar terhadap lakon pantangan tersebut ketika cerita alengka Rungkat itu telah hampir memasuki babak akhir.
Spontan saja lelaki yang selalu dikelilingi oleh para tukang pukul itu langsung bertindak cepat. Dan demi menjaga agar kutukan cerita Alengka Rungkat itu tidak menimpanya maka dengan sigap Pak Kades langsung menghentikan pagelaran wayang kulit tersebut. Dan agar penonton tidak kecewa, Pak Kades langsung memberi saweran yang lumayan tebal ke kutang Sinden Cempluk agar memainkan kemayunya demi meredam amarah penonton. Strategi Pak Kades ternyata manjur.
Cempluk dengan gayanya yang kemayu dan agak gimana gitu segera menyihir penonton. Beberapa lagu dangdut koplo yang ngehits segera ia luncurkan. Dan penontonpun segera lupa dengan lakon Alengka Rungkat yang barusan dinikmatinya. Pagelaran alengka Rungkat langsung berganti dengan megal-megolnya bokong sinden Cempluk yang menyihir penonton. Di depan tampak Pak Dalang hanya mengelus dada karena pakem wayangnya bubrah begitu saja oleh otoritarianisme Pak kades.
Apalagi Pak Kades juga memerintahkan para tukang pukulnya untuk membagikan banyu galak kepada para pemuda yang berjoget di bawah panggung. Dan sudah dapat dipastikan. Akhir pagelaran wayang kulit tersebut adalah kericuhan. Mereka yang mabuk tak dapat mengendalikan emosinya ketika saling sodok saat berjoget.
“Masak ya kita harus percaya dengan takhyul seperti itu? Kita ini sudah hidup di alam modern,” sergah Jatmiko yang dikenal sebagai loyalis Pak Kades sambil ikut-ikutan memelototi kertas ramalan togel yang barusan diserahkan Supar.
“Aku sangat setuju jika kutukan lakon Alengka Rungkat itu dianggap sebagai takhyul belaka. Tapi kali ini tanda-tanda kerungkatan Pak Kades dan kroni-kroninya itu sudah terlihat sedemikian kasat mata,” sahut Cak Jhon bersemangat. Entah kesurupan jin dari mana, tiba-tiba saja Cak Jhonyang setiap bulan menerima jatah beras untuk orang miskin itu terlihat sedemikian kritis.
“Huss! Dasar tak tahu balas budi! Kamu itu khan yang sering menerima sembako dari Pak Kades tho?” seloroh Supar sambil menepuk pundak Cak Jhon.
“Itu khan memang jatah kita? Bukan dari kantong pribadi Pak Kades,” jawab Cak Jhon dengan volume suara yang sedikit meninggi. Ada hawa amarah dalam kalimat-kalimat Cak Jhon. Mungkin selama ini ia begitu rapat memendam kecewanya. Dan kali ini kekecewaan itu mendapat angin untuk memuntahkannya.
“Siapapun Kadesnya, anggaran sembako itu pasti ada dan harus diterimakan kepada wong cilik seperti aku ini. Jadi menurutku itu tidak ada istimewanya sama sekali,” jawab Cak Jhon sekali lagi. Parto, Dulkamdi dan Karim benar-benar dibuat melongo oleh jawaban Cak Jhon yang cerdas tersebut. Pagi itu pengunjung warung Yu Paijem dibuat terheran-heran oleh kecerdasan Cak Jhon yang bagai dapat ilham dari langit tersebut.
“Aku yakin jatah untuk orang miskin seperti kamu itu pastilah sudah disunat lebih dahulu oleh Pak Kades,” timpal Supar tak mau ketinggalan. Terlihat muka Jatmiko merah padam mendengar Pak Kades dituduh menyunat jatah sembako orang-orang miskin di desanya. Meski di dalam hati Jatmiko membenarkan ucapan Cak Jhon dan Supar, tapi lelaki pendukung Pak Kades itu malu untuk berterus terang. Apalagi ia memang mendapat jatah yang tidak sedikit dari Pak Kades karena menjadi pendukung utamanya.
“Sudahlah kita tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lebih baik kita cerita tentang sepak bola saja,” usul Kandar sambil menawarkan rokok kreteknya.
”Tidak bisa begitu. Ini menyangkut masa depan desa kita,” bentak Parto emosi.
“Kita memang harus mempersiapkan pengganti Pak Kades dengan orang yang lebih baik dan tidak sok plonga-plongo seperti itu. Kita harus bersihkan pemerintahan desa dari para tikus!” sambung Parto berapi-api mirip pidato Sakerah di lakon ludruk.
“Dan juga para kroni-kroni penerus kebobrokan Pak Kades,” sambung Parto sekali lagi dengan masih berapi-api.
“Menurut Cak parto, siapa calon yang paling layak mengganti Pak Kades nanti?” tanya Dulkamdi kritis.
“Yang pensiunan tentara itu atau yang suka main Pak lurah-lurahan itu?” tanya Supar penasaran.
“Bukan keduanya! Kita semua tahu siapa lagi kalau bukan Mas ….” Belum selesai Parto berkata, tiba-tiba dari arah belakang warung masuk tiga orang berambut cepak menjemput Jatmiko sambil menunjukkan surat perintah penangkapannya.
“Maaf Bapak Jatmiko kami tangkap. Kkarena Bapak bersekongkol dengan Pak Kades menggelapkan dana sembako dan dana pembangunan jalan desa,,” ucap salah satu laki-laki yang menjemput jatmiko. Dan demi mendengar keterangan lelaki berambut cepak tersebut, Jatmiko hanya dapat tertunduk malu. Dengan langkah lunglai iapun berjalan menuju mobil polisi yang menangkapnya. Sementara itu di dalam warung Yu Paijem Parto dan kawan-kawannya yang tergabung dalam jamaah warung Yu Paijem hanya dapat mengelus dada prihatin tanpa dapat berkata sepatah katapun. Sepertinya Lakon Alengka Rungkat itu kini mulai menampakkan kutukannya.