SALAT adalah seruan seorang hamba kepada Tuhan. Pola kesadaran akan kehadiran Tuhan yang termanifestasikan dalam bentuk ibadah secara simbolik.
Sebuah upaya membina kontak kebersamaan dengan Tuhan, menjaga ingatan sadar kita akan kehadiran Tuhan, sebagaimana tersebut dalam surat Thaha: 14 “.…Dan tegakkan shalat…agar kamu ingat kepada-Ku.”
Secara simbolik mengisyaratkan tentang ketundukan dan kepasrahan kita kepada Tuhan. Ia dibuka dengan takbir (takbiratulihram), seolah kita dituntut agar seluruh sikap dan perhatian hanya tertuju kepada Tuhan. Segenap aktivitas keduniaan sebelum salat dan rencana sesudahnya, “haram” hukumnya dilakukan dalam salat.
Artinya momen salat mesti terdominasi oleh kontak intim dengan Tuhan. Bahwa penghayatan sedalam-dalamnya akan kehadiran Tuhan menjadi yang terpenting dalam hidup kita ini. Berdiri tegak menghadap arah ka’bah (kiblat), digariskan oleh Nabi Muhammad Saw., “seolah-olah engkau melihat-Nya, dan walaupun engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.”
Kesadaran yang mengandaikan bahwa apa pun tingkah polah kita ini terekam oleh Tuhan. kemudian sikap pasrah dan tunduk kian jelas dengan gerakan rukuk dan sujud. Rukuk, membungkukkan badan, dan sujud, menempelkan kening pada permukaan sajadah, sembari teriring dengan bacaan-bacaan yang mempersucikan Tuhan, menunjukkan betapa lemah dan tak berartinya muka “cakep” kala tersungkur dipangkuan-Nya.
Lantas duduk dan diakhiri dengan salam sembari menoleh kanan kiri. Kalau takbir adalah lambang pembukaan hubungan vertikal dengan Allah Swt., maka ucapan salam merupakan lambang hubungan horizontal dengan sesama manusia. Kedua hubungan, vertikal dan horizontal, tak bisa dipisahkan.
Takbir mengharamkan setiap pekerjaan yang bersifat horizontal atau duniawi. Ketika kita sudah mengucapkan Allah-u akbar, berarti kita menyatakan bahwa diri ini sedang dalam posisi menghadap Tuhan. Kita dalam posisi hidup vertikal. Ucapan salam yang dipertegas dengan menengok ke kanan dan ke kiri, simbolisme yang menuntut kita untuk membuktikan hubungan baik dengan sesama.
Selesai salat, seolah-olah Tuhan mengingatkan, “Baiklah kamu sudah selesai salat menghadap Aku. Sekarang pergilah kamu menyapa lingkungan. Tapi ucapkan salam. Perlihatkan bahwa kamu punya perhatian kepada sesama manusia. Jangan hidup sendirian. Di sebelah kanan dan kirimu ada orang yang perlu perlindungan.”
Jelaslah, semua bacaan dan tindakan dalam salat dirancang untuk menegaskan kesadaran lebih tinggi bahwa kita dalam situasi senantiasa berhadapan dengan Tuhan. Upaya menyambung hubungan intim dengan Allah, konsentrasi berdialog, mengadukan masalah duka nestapa sebagai manusia yang lemah.
Dan Nabi Saw. memperoleh perintah salat lima waktu dalam isra’ mi’raj, bermuwajahah dengan Tuhan, sedang kita mewarisinya yang juga dapat mengantar ke kondisi mi’raj, berjumpa dan berdialog dengan Tuhan.
Dari situ pantaslah jika dikatakan bahwa kunci diterimanya seluruh amal adalah salat. Sang Nabi Saw. menegaskan: “Yang pertama kali akan diperhitungkan tentang seorang hamba pada hari kiamat ialah salat; jika baik, maka baiklah pula seluruh amalnya; jika rusak, maka rusak pulalah seluruh amalnya.”
Sebagai kunci amaliah, seakan hendak menepis anggapan, “cukuplah manusia memiliki iman dan amal saleh, tanpa perlu beribadah.” Sebuah sikap yang kini menggejala pada generasi new age, yang menafikan ibadah formal.
Sikap yang kerap saya temui, yang percaya pada Tuhan dan keharusan berbuat baik, tanpa perlu memasuki agama formal tertentu yang diikat oleh “aturan main” ibadah. Mereka menganut “agama” yang diangankan macam unitarianisme, deisme, dan universalisme.
Konsep keseimbangan unsur spiritual (iman dan amal saleh) dan ritualitas (ibadah mahdah, salat) itu, juga menjawab seringnya perilaku “belah bambu” khususnya dari kalangan aktivis gerakan; “lebih baik mana antara orang yang rajin beribadah, tingkah lakunya buruk, dengan orang yang tidak beribadah tetapi tingkah lakunya baik?”
Padahal konsekuensi dari setiap agama dan kepercayaan adalah lahirnya sistem ibadah. Iman tidak mungkin tanpa ibadah, sebab keimanan berbeda dengan bangunan ilmu dan filsafat yang rasionalistik-materialistik.
Agama memiliki dimensi suprarasional dan spiritual yang terekspresikan dalam perilaku kebaktian melalui sistem ibadah. Hal itu untuk menguatkan kesadaran kebertuhanan sebagai implikasi keimanan, sekaligus menyajikan pengalaman kerohanian yang tak mungkin didapat hanya dengan menguras kemampuan nalar dan rasa semata.
Jadi, ibadah merupakan kelanjutan logis dari keimanan. Jika tanpa ritus ibadah, iman dan islam hanyalah merupakan rumusan-rumusan abstrak, yang tak sanggup memberikan dorongan batin untuk berbuat sesuatu ke tingkat ketulusan yang sejati. Sehingga, keimanan harus terlembagakan ke dalam sistem peribadatan sebagai ekspresi penghambaan kepada Allah Swt.
Maka, letak strategis ibadah—dalam hal ini salat—sebagai penengah antara iman yang bersifat abstrak dengan amal saleh yang bersifat konkret. Perekatan inilah yang membawa kita pada proses penghambaan, sehingga di dalamnya kita akan menghampiri perasaan spiritual yang tak terlukiskan.
Salat untuk menjaga stabilitas rangkaian iman dengan amal saleh. Rasa keberimanan yang turun naik, dan seringkali tenggelam dalam aktivitas amal saleh, melalui salat, niscaya iman terpelihara.
Walhasil, salat adalah ibadah yang memiliki implikasi kuat dengan keteguhan jiwa dan ketabahan hati dalam menempuh hidup, karena ada harapan terhadap Tuhan.
Dan harapan itu sendiri justru menjadi salah satu makna iman yang antara lain melahirkan rasa aman. Rasa aman merupakan bekal mewujudkan cita-cita menempuh hidup bermoral. Sekiranya ibadah tak melahirkan kepekaan dan kesadaran sosial berarti telah kehilangan makna hakikinya, yang justru si pelaku terkutuk oleh Tuhan, lihat Al-Ma’un. [Luk]