Barisan.co
  • Beranda
  • Opini
  • Analisis
    • Esai
    • Analisis Awalil
    • Perspektif
  • Kolom
  • Khazanah
  • Lifestyle
  • Sosok
  • Sastra
  • Barisan Tv Network
    • Barisan Tv
    • Awalil Rizky
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Beranda Kolom Esai

Sastra: Kehadiran Yang Tak Pernah Dianggap Penting

:: Noerjoso
15 September 2023
dalam Esai
sastra tidak penting

Ilustrasi foto: Pexels.com/Mikhail Nilov

Bagi ke FacebookCuit di TwitterBagikan ke Whatsapp

“APA?  Fakultas sastra?  Oh Tidak Sayangku!”  Begitulah jawaban yang mungkin akan diucapkan oleh orang tua ketika seorang anak mengajukan rencana kuliah pada fakultas sastra. 

Bahkan kalimat bernada nyinyir pun akan mudah diucapkan oleh orang tua ketika sang anak gadisnya memperkenalkan kekasihnya yang secara kebetulan sebagai seorang penulis cerpen.

“Apa kamu mau makan khayalan?” 

Kalimat bernada menyepelekan seperti itu seolah-olah menjadi pemandangan yang lumrah dan dianggap benar oleh masyarakat kita.  Sastrawan, sama sekali tidak memperoleh simpati atau apresiasi.  Seseorang yang menyandang predikat sastrawan atau yang berada di seputar dunia sastra dianggap tidak memiliki daya ekonomis sama sekali.

BACAJUGA

Syarifuddin Arifin

Kisah Romantika Buku Antologi Puisi Iga, Rindu Tanah Plasenta Karya Syarifuddin Arifin

5 September 2023
merumuskan sejarah

Merumuskan Sejarah

31 Agustus 2023

Pandangan negatif seperti itu mungkin pada mulanya berawal dari anggapan masyarakat umum yang menyatakan bahwa karya sastra adalah produk dari imajinasi para penulisnya.  Oleh karena itu sastra kerap pula diidentikkan dengan produk para pengkhayal yang tidak memiliki basis realitas. 

Celakanya lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyatakan bahwa fiksi dikatakan sebagai cerita rekaan atau khayalan yang tidak berdasarkan pada kenyataan.  bahkan beberapa ahli menyatakan bahwa kebenaran yang ada di dalam karya Sastra tak perlu dipusingkan karena toh hanya khayalan belaka. 

Oleh karena itu fiksi tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata.  Pandangan yang lain menyatakan bahwa karya fiksi tidak perlu merujuk pada kebenaran faktual sehingga kebenaran dalam karya fiksi tidak perlu dibuktikan dengan data empiris.  Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi adalah justru sebaliknya, yaitu bahwa sastra selalu menampilkan berbagai fakta.  Namun begitu kesadaran seperti ini masih dianggap tidak lazim.

Itu artinya eksistensi sastra bagi masyarakat Indonesia masih dipandang kurang penting, tidak sepenting bidang.  bidang  yang  menghasilkan  produk  praktis.  Tidak  banyak  orang yang membaca dan menghayati sastra, apalagi menggunakan sastra sebagai  mata air kebijaksanaan.

Implikasinya tentu saja tidak  banyak  tawaran   penelitian dalam bidang sastra, karena hasilnya dipandang tidak praktis,  dan  kalaupun  dilakukan  riset  tentang  sastra  yang    tentu saja hasilnya tidak kasat mata itu, seringkali hasilnyapun kurang dimanfaatkan untuk  kepentingan yang lebih besar dalam upaya meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat.

Kondisi ini menjadi potret budaya masyarakat kita yang  belum  memiliki  keseimbangan  pandangan  pada  hal-hal  yang  praktis  dan  yang dianggap nonpraktis, yang  bersifat material dan  non material.  

Padahal yang seharusnya terjadi dalam  pengembangan  ilmu pengetahuan, sangat diperlukan adanya pengakuan kesetaraan dan perimbangan pada ilmu ilmu  positivistik  dan  nonpositivistik,  dan  kriteria  yang  digunakan  untuk  menilai  keobjektivannyapun  mesti  diukur  sesuai  dengan  paradigmanya  masing-masing.  Antar ilmu  sebaiknya  saling  berrelasi, berinteraksi dan berkoneksi sehingga tidak  terjadi  hierarki  atau  pengkastaan  ilmu.

Sejatinya  juga,  tidak  ada  satu  ilmu  pun  yang  benar-benar  otonom dan linier,  ilmu  yang  satu  pastilah  akan  saling  memerlukan  dan  menyapa  ilmu  yang  lain.  Apabila  kita  memikirkan  pengembangan  ilmu  yang  bermuara  pada  peningkatan  peradaban  dan  keadaban  manusia  serta  harmoni  dengan  sesama  dan semesta, maka sastra menjadi sangat penting.

Sepenting Apakah Sastra Itu?

Pertama, Sastra adalah simbol kebebasan hakiki.  Sastra  adalah produk  kebudayaan yang  memiliki nilai keindahan atau eksotis.  Di  dalam  sastra terkandung refleksi hidup dan kehidupan yang kompleks dan mendalam  tentang  hal-hal  yang  nyata  dan  yang tak  nyata baik yang  telah,  sedang,  dan  yang akan  terjadi, serta  yang    mungkin  dan  tidak  mungkin  akan terjadi.

Keeksotisan  yang  dimiliki  oleh sastra  karena  dunia  sastra  adalah  dunia  dalam  kata,  dunia cermin realitas, dunia  fiksi,  dunia  rekaan,  dan  dunia ini memiliki “kebebasan mencipta”.  Maka dari itu,  siapa  pun  yang  ingin  memiliki  ruang  kebebasan  ekspresi  total,  ada   dalam dunia sastra.  Saking bebasnya sebuah sastra, ia dapat mensubbversi  kekuasaan yang otoriter sekalipun.

Meski begitu diakui atau tidak diakui terminologi sastra   saat ini memang  telah  mengalami  proses  peyorasi,  dimana sastra yang kini tidak lagi digunakan untuk menyebut “yang berilmu luas”  ( nyastra) -seperti  di  masa  lampau.  Peyorasi ini mungkin saja disebabkan oleh terlalu berorientasinya peradaban dunia saat ini pada ekonomi dan teknologi semata. 

Namun  keniscayaan  sastra  yang  sangat  kaya  sebagai  sumber  ilmu  dan  kebijaksanaan  sesungguhnya  masih  tetap  disandangnya.  Terjadinya  pergeseran  arti  itu,  memang  merupakan keniscayaan, namun sastra tetap mengungkap substansi hasil  penghayatan  dan  pengamatan  yang  mendalam  dan  utuh  tentang  dunia seperti halnya karya filsafat.

Melalui  sastra,  masyarakat  pembaca  dapat  mengalami  proses  penyadaran  inklusif  yang  tanpa  didoktrin  dan  didikte.  Dalam  menghayati  sastra,  masyarakat  pembaca  dengan  asyik dan rileks dapat mengalami  berbagai  pencerahan,  karena  dalam  sastra  terlukiskan  berbagai  problematika  dan  alternatif  kehidupan  yang  bermanfaat  untuk  menyikapi  kehidupan  yang  baik  dan  bijak. 

Dengan  kekuatan  narasi dan  deskripsi  dalam  sastra,  masyarakat  dapat  belajar  berbagai   kisah hidup manusia dengan nuansa bahasa yang khas sastra,  yang  menurut Wellek (1968) dikatakan berciri ekspresif, emotif, asosiatif, imajinatif,  dan  multiinterpretatif.  Berbagai  kekayaan  tawaran  nilai  spiritual, etika  dan  moral  dalam  sastra,  menginspirasi  masyarakat  untuk  merenungkan tentang tata nilai itu, kemudian dengan kesadarannya sendiri  dapat  menginternalisasikan pada dirinya sendiri, mengeksternalisasikan pada dunia sosial serta memanfaatkan  untuk  meningkatkan  kualitas jati dirinya. 

Sastra dengan sendirinya menyediakan ruang  kebebasan  untuk menikmati,  memahami,  menghayati,   dan  menginterpretasi   tanpa sedikitpun merasa dintimidasi.  Masyarakat  pembaca   dapat membaca sastra dari tingkat membaca yang terendah sampai  tertinggi:  dari  membaca  yang hanya sekedar menikmati,  membaca  untuk memahami,  sampai   dengan membaca untuk mengangkat lapis keilmuan serta nilai-nilainya. 

Otoritas  interpretasi  sepenuhnya  dimiliki   oleh pembaca dan sekaligus diberikan kepada pembaca.  Otoritas itu tidak lagi ada di luar pembaca, dan juga tidak ada  dominasi  dan  hegemoni  interpretasi.  Uniknya  lagi,  interpretasi  sastra  bersifat   plural,  tidak  tunggal atau absolut (Gadamer,  1987),  sehingga  dalam  teori  resepsi  sastra  Jauss  (1982)  dan  Junus  (1985)Semakin banyak  ada  interpretasi  dari  masyarakat  pembaca,  makin  kaya  sastra,  dan  sastra  itu  memiliki  sejarah. 

Di sisi yang lain kualitas sastra  akan tergantung oleh respon masyarakat yang berupa kritik sastra.  Dan terkait dengan kedalaman makna interpretasi dapat dibilang tanpa  batas  ( unlimited).

Dalam konteks Sosiologi  Sastra,  tidak  ada  “kastanisasi”  sastra.  Implikasinya,  tidak  ada  penyebutan  “sastra  serius/kanon”  dan  “sastra  populer”,  bahkan  tidak  ada  yang  disebut  dengan budaya  tinggi dan budaya  rendah dan Seterusnya.  Akibatnya kebebasan dalam sastra sekaligus berimplikasi pada tumbuhnya kesetaraan dalam masyarakat itu sendiri. 

Kedua, data dan fakta yang dimetaforkan.  Selain di satu sisi keberadaan sastra sebagai “objek estetik”, sastra juga oleh disiplin ilmu lain dianggap sebagai “dokumen atas fakta sosial”. 

Sastra  mengungkap  segala  apa  pun  yang  ada  dalam  kehidupan   sosial.  Sastra  hadir  dan  bicara  ketika  lembaga-lembaga  sosial  terpasung.  Sastra  merekam  seluruh  kejadian  sejarah,  peristiwa   sosial,  dan  ketimpangan  sosial  yang  ada  yang  tidak  terucapkan   dalam  “narasi  besar”  (grand  narrative),  seperti  adat  yang  kuat   yang  membelenggu masyarakat  ,  termasuk  hal  yang   ditabukan untuk perempuan dan  kekuasaan  yang  menindas  sekalipun  (seperti  dalam  puisi-puisi   Wiji  Thukul). 

Di  dalam  sastra  terekam  persoalan  ekonomi,  politik,   sosial,  sejarah,  filsafat,  etika,  moral,    psikologi,  lingkungan,  religi,   dan lainnya yang ada dalam masyarakat.  Karena itu, ilmuwan sastra  memiliki  tanggung  jawab  berat  harus  belajar  tentang  sesuatu  yang   banyak,  karena  hidup  dan    kehidupan  terefleksi  dalam  sastra,  dan   untuk menganalisis dan memaknakannya memerlukan pengetahuan luas yang mendukung.

Itu semua terjadi karena ada pengakuan bahwa sastra terlahir  dari  rahim situasi  sosial  budaya.  Tidak  ada  karya  sastra  yang  terlahir  dari  situasi  kekosongan sosial,  semua  sastra  apa  pun  alirannya  dan  bagaimanapun  dihadirkan  sesungguhnya ia selalu berpijak  pada  masyarakat  sebagai  hasil  interaksi  pengarang  dengan  lingkungan  sosialnya sebagaimana yang disampaikan oleh  Toda(1980) dan  Rendra  (1984)  yang mengatakan,  tidak  ada  sastra  yang  jatuh  begitu  saja  dari  awang-awang (langit).

Pada konsep sastra memetafor data, pada prinsipnya sastra mengemas kebenaran agar abadi.  Menurut Ajidarma, kebenaran yang terdapat dalam teks berita, meskipun telah direkayasa sedemikian rupa, akan cepat lumer seperti es krim.  Sementara itu, sastra dan kebenaran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibelah menjadi bagian yang terpisah-pisah.  Kehadiran sastra dan kebenaran tidak dapat dihentikan.  

Kesusastraan hidup dalam pikiran manusia dengan kebenaran yang akan menjulang dengan sendirinya.  Ibarat kata sastra memunculkan kebenaran yang ada di dalam dirinya sendiri dari detik ke detik dengan segala bahasa yang ada di dalamnya.  Oleh karena sastra bersifat abadi, maka sastra mampu menembus waktu sehingga terkuaklah sebuah kebenaran.

Ketiga, sastra adalah anak jaman.  Sastra  juga  melukiskan  jiwa  zaman  suatu  bangsa,   sejarah pemikiran manusia, semangat nasionalisme dan patriotisme,  ideologi  dan  idealisme,  serta  gagasan-gagasan  baru (lihat saja karya-karya Pramudya Ananta Toer).  Dalam  sastra   juga  bagaimana  bahasa  dikembangkan,  dieksplorasi,  dipopulerkan,   dan  dielaborasi.  Di  dalam  sastra  terkandung  kebenaran,  kebaikan dan  keindahan.  Mukarovsky   mengungkapkan  hal  tersebut dalam  kalimat  tanya:   It  is  true?  It  is  good?   It  is  beautiful?

Keempat, empaty, solidaritas, kebersamaan dan , pejelajahan geografis.  Membaca  sastra  juga  penting  dalam  menghasilkan penjelajahan  sosial  dan   budaya  dalam  lintas  daerah  dan  negara,  yang  tidak  mungkin   kita  kunjungi secara fisik.  Benedict  Anderson  (2006)  pernah  mengatakan   nasionalisme kita adalah “komunitas terbayang” ( imagined  communities),  kita  hanya  mampu  membayangkan  apa  yang  disebut  Indonesia  tanpa  pernah  datang  berkunjung  langsung  ke  daerah-daerah    di  seluruh  Indonesia,  namun  kita  merasa  sebagai   satu  bangsa. 

Melalui  sastra,  kita  bisa  lebih  dekat  mengenali  dan   melakukan  penjelajahan  sosial  dan  budaya  yang  tidak  sempat  kita   kunjungi itu.  Lihat saja buku berjudul Taume anak Mentawai.  Buku kecil terbitan tahun 70-an itu jika kita baca, seolah-olah membawa kita menjelajah alam Mentawai yang indah. 

Kita bisa juga belajar banyak tentang budaya-budaya  melalui  sastra,  dan  juga  dapat  menjelajah  budaya  tidak  saja  pada   sastra-sastra  negeri  sendiri  tetapi  dari  sastra-sastra  asing,  guna  memperkuat  kepribadian,  jati  diri,  dan  nasionalisme  kita sebagaimana karya Ahmad Tohari yang kental warna tradisi dan budaya lokal.  Sastra  bermakna  manakala  ada  interaksi  antara  teks  dan  pembaca,  tanpa  itu  sastra  hanya  akan  menjadi  “artefak”  (benda  mati)  yang  sama  saja dengan benda-benda mati lainnya.  

Karena itu, Jauss (1982) memandang,  pembaca  menjadi  bagian  yang  penting  dalam  proses  konkretisasi dan pemaknaan sastra.  Dan karena sastra tidak bersifat doktriner maka pembacaan kita terhadap sastra dengan sendirinya akan membentuk pribadi yang toleran, inklusif dan moderat.

Akhirnya, meski sastra penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sastra justru dihambat pertumbuhan dan kelahirannya.  Ia tidak hanya ditentang oleh nilai-nilai ekonomis yang mendominasi di masyarakat, tetapi ia kini juga dihambat oleh rasa keberagamaan yang semakin tekstualis dan formalis.  Ibarat kata, sastra adalah anak haram yang tidak diinginkan kelahirannya. [Luk]

Editor: Lukni
Topik: fakultas sastraPramoedya Ananta ToerSastraWiji Thukul
Bagikan1Tweet1Send
Noerjoso

Noerjoso

POS LAINNYA

Cerdas Kaesang Pengarep
Esai

Mencermati Satir Cerdas Kaesang Pengarep

30 September 2023
humor investor
Esai

Humor Investor, Korbannya Ternyata …..

29 September 2023
film g 30 s
Esai

Film G 30 S

29 September 2023
banner politik
Esai

Banner Calon Tanpa Politik

25 September 2023
teater pantura
Esai

Apa Kabar Teater Pantura

24 September 2023
mencari cawapres 2024
Esai

Mencari Cawapres

23 September 2023
Lainnya
Selanjutnya
Berkolaborasi dengan Partai Pengusung, Relawan Anies Bentuk Relawan Penggerak

Berkolaborasi dengan Partai Pengusung, Relawan Anies Bentuk Relawan Penggerak

Semarang Climate Strike 2023

Jarilima Kampanyekan Semarang Climate Strike 2023, Kepedulian Perubahan Iklim Sedunia

TRANSLATE

TERBARU

cangkir
Puisi

Cangkir – Puisi Yanuar Abdillah Setiadi

:: Redaksi Barisan.co
1 Oktober 2023

cangkir

Selengkapnya
GERNAS SATAMAR

KoReAn Deklarasikan Gerakan Nasional Saksi AMIN Tak Mau Dibayar atau GERNAS SATAMAR

1 Oktober 2023
Viral Perundungan di Sekolah, 72%  Mengaku Pernah Mengalami, Ini Datanya

Viral Perundungan di Sekolah, 72%  Mengaku Pernah Mengalami, Ini Datanya

30 September 2023
Majelis Sholawat An-Nahdhiyyah Indonesia

Doakan Kemenangan Anies-Cak Imin, Majelis Sholawat An-Nahdhiyyah Rutin Gelar Istigosah

30 September 2023
VAR: Inovasi yang Membantu Wasit Mengambil Keputusan

VAR: Inovasi yang Membantu Wasit Mengambil Keputusan

30 September 2023
Kejayaan Kelapa Berakhir, Mangrove Telanjur Rusak

Kejayaan Kelapa Berakhir, Mangrove Telanjur Rusak

30 September 2023
Melalui Video Call, Anies Minta Relawan Manies di Ambon Jaga Kesolidan dan Kesantunan

Melalui Video Call, Anies Minta Relawan Manies di Ambon Jaga Kesolidan dan Kesantunan

30 September 2023
Lainnya

SOROTAN

Makam Diponegoro
Opini

Perlukah Kita Memindah Makam Pangeran Diponegoro?

:: Ananta Damarjati
25 September 2023

Pengambilan keputusan terkait pemindahan makam seorang pahlawan harus melibatkan kajian yang mendalam. SULIT sekali membayangkan Indonesia tanpa makam Pangeran Diponegoro....

Selengkapnya
Perusahaan Koperasi

DIVVY: Keunggulan Sistem Perusahaan Koperasi

24 September 2023
Koalisi Perubahan vs Non Perubahan = Koalisi Kerakyatan vs Koalisi Kekuasaan

Koalisi Perubahan vs Non Perubahan = Koalisi Kerakyatan vs Koalisi Kekuasaan

22 September 2023
Apakah Keuntungan Itu

Apakah Keuntungan Itu?

21 September 2023
Oligarki yang Menagih Hutang

Masa Lalu, Masa Depan, dan Oligarki yang Menagih Hutang

21 September 2023
Prabowo dan Ganjar Menunggu Godot?

Prabowo dan Ganjar Menunggu Godot?

20 September 2023
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Indeks Artikel

BARISAN.CO © 2020 hak cipta dilindungi undang-undang

Tak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Beranda
  • Opini
  • Analisis
    • Esai
    • Analisis Awalil
    • Perspektif
  • Kolom
  • Khazanah
  • Lifestyle
  • Sosok
  • Sastra
  • Barisan Tv Network
    • Barisan Tv
    • Awalil Rizky

BARISAN.CO © 2020 hak cipta dilindungi undang-undang