“APA? Fakultas sastra? Oh Tidak Sayangku!” Begitulah jawaban yang mungkin akan diucapkan oleh orang tua ketika seorang anak mengajukan rencana kuliah pada fakultas sastra.
Bahkan kalimat bernada nyinyir pun akan mudah diucapkan oleh orang tua ketika sang anak gadisnya memperkenalkan kekasihnya yang secara kebetulan sebagai seorang penulis cerpen.
“Apa kamu mau makan khayalan?”
Kalimat bernada menyepelekan seperti itu seolah-olah menjadi pemandangan yang lumrah dan dianggap benar oleh masyarakat kita. Sastrawan, sama sekali tidak memperoleh simpati atau apresiasi. Seseorang yang menyandang predikat sastrawan atau yang berada di seputar dunia sastra dianggap tidak memiliki daya ekonomis sama sekali.
Pandangan negatif seperti itu mungkin pada mulanya berawal dari anggapan masyarakat umum yang menyatakan bahwa karya sastra adalah produk dari imajinasi para penulisnya. Oleh karena itu sastra kerap pula diidentikkan dengan produk para pengkhayal yang tidak memiliki basis realitas.
Celakanya lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyatakan bahwa fiksi dikatakan sebagai cerita rekaan atau khayalan yang tidak berdasarkan pada kenyataan. bahkan beberapa ahli menyatakan bahwa kebenaran yang ada di dalam karya Sastra tak perlu dipusingkan karena toh hanya khayalan belaka.
Oleh karena itu fiksi tidak perlu dicari kebenarannya dalam dunia nyata. Pandangan yang lain menyatakan bahwa karya fiksi tidak perlu merujuk pada kebenaran faktual sehingga kebenaran dalam karya fiksi tidak perlu dibuktikan dengan data empiris. Akan tetapi, yang sebenarnya terjadi adalah justru sebaliknya, yaitu bahwa sastra selalu menampilkan berbagai fakta. Namun begitu kesadaran seperti ini masih dianggap tidak lazim.
Itu artinya eksistensi sastra bagi masyarakat Indonesia masih dipandang kurang penting, tidak sepenting bidang. bidang yang menghasilkan produk praktis. Tidak banyak orang yang membaca dan menghayati sastra, apalagi menggunakan sastra sebagai mata air kebijaksanaan.
Implikasinya tentu saja tidak banyak tawaran penelitian dalam bidang sastra, karena hasilnya dipandang tidak praktis, dan kalaupun dilakukan riset tentang sastra yang tentu saja hasilnya tidak kasat mata itu, seringkali hasilnyapun kurang dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar dalam upaya meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat.
Kondisi ini menjadi potret budaya masyarakat kita yang belum memiliki keseimbangan pandangan pada hal-hal yang praktis dan yang dianggap nonpraktis, yang bersifat material dan non material.
Padahal yang seharusnya terjadi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sangat diperlukan adanya pengakuan kesetaraan dan perimbangan pada ilmu ilmu positivistik dan nonpositivistik, dan kriteria yang digunakan untuk menilai keobjektivannyapun mesti diukur sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Antar ilmu sebaiknya saling berrelasi, berinteraksi dan berkoneksi sehingga tidak terjadi hierarki atau pengkastaan ilmu.
Sejatinya juga, tidak ada satu ilmu pun yang benar-benar otonom dan linier, ilmu yang satu pastilah akan saling memerlukan dan menyapa ilmu yang lain. Apabila kita memikirkan pengembangan ilmu yang bermuara pada peningkatan peradaban dan keadaban manusia serta harmoni dengan sesama dan semesta, maka sastra menjadi sangat penting.
Sepenting Apakah Sastra Itu?
Pertama, Sastra adalah simbol kebebasan hakiki. Sastra adalah produk kebudayaan yang memiliki nilai keindahan atau eksotis. Di dalam sastra terkandung refleksi hidup dan kehidupan yang kompleks dan mendalam tentang hal-hal yang nyata dan yang tak nyata baik yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, serta yang mungkin dan tidak mungkin akan terjadi.
Keeksotisan yang dimiliki oleh sastra karena dunia sastra adalah dunia dalam kata, dunia cermin realitas, dunia fiksi, dunia rekaan, dan dunia ini memiliki “kebebasan mencipta”. Maka dari itu, siapa pun yang ingin memiliki ruang kebebasan ekspresi total, ada dalam dunia sastra. Saking bebasnya sebuah sastra, ia dapat mensubbversi kekuasaan yang otoriter sekalipun.
Meski begitu diakui atau tidak diakui terminologi sastra saat ini memang telah mengalami proses peyorasi, dimana sastra yang kini tidak lagi digunakan untuk menyebut “yang berilmu luas” ( nyastra) -seperti di masa lampau. Peyorasi ini mungkin saja disebabkan oleh terlalu berorientasinya peradaban dunia saat ini pada ekonomi dan teknologi semata.
Namun keniscayaan sastra yang sangat kaya sebagai sumber ilmu dan kebijaksanaan sesungguhnya masih tetap disandangnya. Terjadinya pergeseran arti itu, memang merupakan keniscayaan, namun sastra tetap mengungkap substansi hasil penghayatan dan pengamatan yang mendalam dan utuh tentang dunia seperti halnya karya filsafat.
Melalui sastra, masyarakat pembaca dapat mengalami proses penyadaran inklusif yang tanpa didoktrin dan didikte. Dalam menghayati sastra, masyarakat pembaca dengan asyik dan rileks dapat mengalami berbagai pencerahan, karena dalam sastra terlukiskan berbagai problematika dan alternatif kehidupan yang bermanfaat untuk menyikapi kehidupan yang baik dan bijak.
Dengan kekuatan narasi dan deskripsi dalam sastra, masyarakat dapat belajar berbagai kisah hidup manusia dengan nuansa bahasa yang khas sastra, yang menurut Wellek (1968) dikatakan berciri ekspresif, emotif, asosiatif, imajinatif, dan multiinterpretatif. Berbagai kekayaan tawaran nilai spiritual, etika dan moral dalam sastra, menginspirasi masyarakat untuk merenungkan tentang tata nilai itu, kemudian dengan kesadarannya sendiri dapat menginternalisasikan pada dirinya sendiri, mengeksternalisasikan pada dunia sosial serta memanfaatkan untuk meningkatkan kualitas jati dirinya.
Sastra dengan sendirinya menyediakan ruang kebebasan untuk menikmati, memahami, menghayati, dan menginterpretasi tanpa sedikitpun merasa dintimidasi. Masyarakat pembaca dapat membaca sastra dari tingkat membaca yang terendah sampai tertinggi: dari membaca yang hanya sekedar menikmati, membaca untuk memahami, sampai dengan membaca untuk mengangkat lapis keilmuan serta nilai-nilainya.
Otoritas interpretasi sepenuhnya dimiliki oleh pembaca dan sekaligus diberikan kepada pembaca. Otoritas itu tidak lagi ada di luar pembaca, dan juga tidak ada dominasi dan hegemoni interpretasi. Uniknya lagi, interpretasi sastra bersifat plural, tidak tunggal atau absolut (Gadamer, 1987), sehingga dalam teori resepsi sastra Jauss (1982) dan Junus (1985)Semakin banyak ada interpretasi dari masyarakat pembaca, makin kaya sastra, dan sastra itu memiliki sejarah.
Di sisi yang lain kualitas sastra akan tergantung oleh respon masyarakat yang berupa kritik sastra. Dan terkait dengan kedalaman makna interpretasi dapat dibilang tanpa batas ( unlimited).
Dalam konteks Sosiologi Sastra, tidak ada “kastanisasi” sastra. Implikasinya, tidak ada penyebutan “sastra serius/kanon” dan “sastra populer”, bahkan tidak ada yang disebut dengan budaya tinggi dan budaya rendah dan Seterusnya. Akibatnya kebebasan dalam sastra sekaligus berimplikasi pada tumbuhnya kesetaraan dalam masyarakat itu sendiri.
Kedua, data dan fakta yang dimetaforkan. Selain di satu sisi keberadaan sastra sebagai “objek estetik”, sastra juga oleh disiplin ilmu lain dianggap sebagai “dokumen atas fakta sosial”.
Sastra mengungkap segala apa pun yang ada dalam kehidupan sosial. Sastra hadir dan bicara ketika lembaga-lembaga sosial terpasung. Sastra merekam seluruh kejadian sejarah, peristiwa sosial, dan ketimpangan sosial yang ada yang tidak terucapkan dalam “narasi besar” (grand narrative), seperti adat yang kuat yang membelenggu masyarakat , termasuk hal yang ditabukan untuk perempuan dan kekuasaan yang menindas sekalipun (seperti dalam puisi-puisi Wiji Thukul).
Di dalam sastra terekam persoalan ekonomi, politik, sosial, sejarah, filsafat, etika, moral, psikologi, lingkungan, religi, dan lainnya yang ada dalam masyarakat. Karena itu, ilmuwan sastra memiliki tanggung jawab berat harus belajar tentang sesuatu yang banyak, karena hidup dan kehidupan terefleksi dalam sastra, dan untuk menganalisis dan memaknakannya memerlukan pengetahuan luas yang mendukung.
Itu semua terjadi karena ada pengakuan bahwa sastra terlahir dari rahim situasi sosial budaya. Tidak ada karya sastra yang terlahir dari situasi kekosongan sosial, semua sastra apa pun alirannya dan bagaimanapun dihadirkan sesungguhnya ia selalu berpijak pada masyarakat sebagai hasil interaksi pengarang dengan lingkungan sosialnya sebagaimana yang disampaikan oleh Toda(1980) dan Rendra (1984) yang mengatakan, tidak ada sastra yang jatuh begitu saja dari awang-awang (langit).
Pada konsep sastra memetafor data, pada prinsipnya sastra mengemas kebenaran agar abadi. Menurut Ajidarma, kebenaran yang terdapat dalam teks berita, meskipun telah direkayasa sedemikian rupa, akan cepat lumer seperti es krim. Sementara itu, sastra dan kebenaran merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibelah menjadi bagian yang terpisah-pisah. Kehadiran sastra dan kebenaran tidak dapat dihentikan.
Kesusastraan hidup dalam pikiran manusia dengan kebenaran yang akan menjulang dengan sendirinya. Ibarat kata sastra memunculkan kebenaran yang ada di dalam dirinya sendiri dari detik ke detik dengan segala bahasa yang ada di dalamnya. Oleh karena sastra bersifat abadi, maka sastra mampu menembus waktu sehingga terkuaklah sebuah kebenaran.
Ketiga, sastra adalah anak jaman. Sastra juga melukiskan jiwa zaman suatu bangsa, sejarah pemikiran manusia, semangat nasionalisme dan patriotisme, ideologi dan idealisme, serta gagasan-gagasan baru (lihat saja karya-karya Pramudya Ananta Toer). Dalam sastra juga bagaimana bahasa dikembangkan, dieksplorasi, dipopulerkan, dan dielaborasi. Di dalam sastra terkandung kebenaran, kebaikan dan keindahan. Mukarovsky mengungkapkan hal tersebut dalam kalimat tanya: It is true? It is good? It is beautiful?
Keempat, empaty, solidaritas, kebersamaan dan , pejelajahan geografis. Membaca sastra juga penting dalam menghasilkan penjelajahan sosial dan budaya dalam lintas daerah dan negara, yang tidak mungkin kita kunjungi secara fisik. Benedict Anderson (2006) pernah mengatakan nasionalisme kita adalah “komunitas terbayang” ( imagined communities), kita hanya mampu membayangkan apa yang disebut Indonesia tanpa pernah datang berkunjung langsung ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, namun kita merasa sebagai satu bangsa.
Melalui sastra, kita bisa lebih dekat mengenali dan melakukan penjelajahan sosial dan budaya yang tidak sempat kita kunjungi itu. Lihat saja buku berjudul Taume anak Mentawai. Buku kecil terbitan tahun 70-an itu jika kita baca, seolah-olah membawa kita menjelajah alam Mentawai yang indah.
Kita bisa juga belajar banyak tentang budaya-budaya melalui sastra, dan juga dapat menjelajah budaya tidak saja pada sastra-sastra negeri sendiri tetapi dari sastra-sastra asing, guna memperkuat kepribadian, jati diri, dan nasionalisme kita sebagaimana karya Ahmad Tohari yang kental warna tradisi dan budaya lokal. Sastra bermakna manakala ada interaksi antara teks dan pembaca, tanpa itu sastra hanya akan menjadi “artefak” (benda mati) yang sama saja dengan benda-benda mati lainnya.
Karena itu, Jauss (1982) memandang, pembaca menjadi bagian yang penting dalam proses konkretisasi dan pemaknaan sastra. Dan karena sastra tidak bersifat doktriner maka pembacaan kita terhadap sastra dengan sendirinya akan membentuk pribadi yang toleran, inklusif dan moderat.
Akhirnya, meski sastra penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sastra justru dihambat pertumbuhan dan kelahirannya. Ia tidak hanya ditentang oleh nilai-nilai ekonomis yang mendominasi di masyarakat, tetapi ia kini juga dihambat oleh rasa keberagamaan yang semakin tekstualis dan formalis. Ibarat kata, sastra adalah anak haram yang tidak diinginkan kelahirannya. [Luk]