Tentu aku akan menikahinya sesegera mungkin setelah aku mapan secara ekonomi. Aku tak akan menunda-nunda waktu kalau demikian. Karena itu, aku terus berusaha untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Aku telah melamar beberapa pekerjaan pada instansi negeri atau swasta dengan bekal ijazah sarjana yang kuperoleh tiga tahun lalu. Tetapi sayang, semuanya gagal.
Tak patah arang untuk memperoleh kemapanan dami menikah, aku lantas berwirausaha dengan membuka warung kopi bersama dua orang temanku. Tetapi baru setahun, kami harus menutupnya. Itu karena jumlah pengunjung makin menurun, dan kami khawatir jika pendapatan kami tak lagi bisa menutupi sewa bangunan tempat usaha kami kalau berkeras melanjutkannya.
Setelah semua kegagalan itu, aku tentu masih tak berputus asa untuk mendapatkan penghidupan yang menjamin sebagai modal pernikahan. Bagaimanapun, nasib rezeki yang baik akan datang juga kepadaku selama aku terus berupaya. Karena itu, aku yakin kalau tahun depan, aku akan mendapatkan pekerjaan yang baik, untuk kemudian menikahi kekasihku.
Tetapi sayang. Kekasihku makin tak sabar saja menanti kesediaanku. Ia terus mendesak agar aku menikahinya sebelum tahun berganti, seolah-olah menikah adalah resolusinya yang mesti terwujud di tahun ini. Padahal, menikah tanpa sokongan penghidupan yang baik, akan membahayakan bagi keberlangsungan rumah tangga.
Anggapanku itu, sungguh berdasar. Aku menyaksikan sendiri bahwa orang tuaku kerap bertengkar dan kemudian bercerai karena ayahku yang merupakan pecatan dari sebuah perusahaan swasta, tak mampu mengongkosi kebutuhan rumah tangga. Dan tentu keadaan itu bisa terjadi di dalam rumah tangga kami jikalau kami menikah dalam kondisi ekonomi yang rentan.
Sudah beberapa kali aku menuturkan perihal sebab perceraian ayah-ibuku itu kepada kekasihku. Aku berharap ia bisa mengerti perihal bahayanya menikah tanpa bekal keuangan. Namun nyatanya, ia tetap kukuh pada pemikirannya agar kami menikah saja, sedang urusan modal berumah tangga biar kami upayakan kemudian. Sebuah pendapat yang jelas tak bisa kusetujui.
Padahal kukira, ia seharusnya bisa mengerti soal itu, karena sejak kami berstatus sebagai sepasang kekasih di tahun ketiga kuliah kami, sudah berkali-kali kami bertengkar karena persoalan meteri. Ia kerap berubah sifat kala aku tidak memenuhi beragam keinginannya. Ia meminta hadiah mahal di hari ulang tahunnya, di tanggal jadian kami, atau kapan saja, dan ia pasti marah kalau aku tidak mewujudkannya.
Sikapnya itu yang juga membuatku makin khawatir untuk menikahinya tanpa kemapanan. Aku takut kalau di dalam rumah tangga kami nanti, ia akan banyak minta, dan aku tak bisa menyanggupinya. Aku takut ia merajuk dan berpaling dariku. Apalagi, sepanjang kebersamaan kami sebagai sepasang kekasih, ia memang telah meninggalkanku sebanyak tiga kali untuk para lelaki yang mampu memanjakannya dengan hal-hal yang bersifat materi.