Tak afdal rasanya berwisata ke Yogyakarta kalau tidak mengunjungi kawasan Malioboro.
BARISAN.CO – Jalan Malioboro menjadi ikon pariwisata Kota Yogyakarta. Rasanya belum ke Jogja jika belum berwisata ke kawasan Malioboro. Eksistensinya terkenal hingga ke seluruh penjuru negeri.
Sebagai salah satu jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta, Jalan Malioboro membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta.
Di sepanjang Jalan Malioboro ini, deretan tempat perbelanjaan yang legendaris menjadi daya tariknya.
Namun kini, hiruk pikuk para pedagang kaki lima tak dapat ditemui di pinggir jalan. Mereka sudah direlokasi di dua lokasi baru yang diberi nama teras Malioboro.
Teras Malioboro satu berada di gedung bekas Bioskop Indra di kawasan Selatan Malioboro. Sementara Teras Malioboro dua berada di lahan kosong bekas kompleks kantor dinas pariwisata di kawasan utara Malioboro.
Asal Muasal Nama Malioboro
Mengutip dari laman jogjaprov.go.id, asal nama Malioboro sendiri berasal dari bahasa sansekerta malyabhara yang berarti karangan bunga.
Adapula beberapa ahli yang berpendapat asal kata nama Malioboro berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal di Jogja pada tahun 1811- 1816 M.
Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini.
Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, The Dutch Governor’s Residence tahun 1830, Java Bank dan Kantor Pos tak lama setelahnya.
Sejarah Jalan Malioboro
Keberadaan Jalan Malioboro kemungkinan sudah ada sebelum berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengutip dari dari ugm.ac.id, saat itu jalan tersebut digunakan sebagai jalan penghubung menuju Pesanggrahan Gerjitawati atau Ayogya, suatu tempat yang kini jadi lokasi berdirinya Keraton Yogyakarta.
Jalan itu sering dilalui rombongan Kerajaan Mataram Islam dari Keraton Kartasura yang membawa jenazah raja atau keluarga kerajaan yang akan disemayamkan di Imogiri dengan singgah terlebih dahulu di Pesanggrahan Gerjitawati.
Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer antara Pantai Selatan (Pantai Parangkusumo) – Kraton Yogya – Gunung Merapi.
Pada tahun 1758, dibangun Pasar Gedhe sebagai pusat perekonomian. Warga sekitar mulai memanfaatkan tempat itu untuk berjualan. Dulunya, tempat itu merupakan tanah lapang.
Setelah ditetapkan Sri Sultan HB I sebagai tempat jual beli, banyak pedagang yang mendirikan payon-payon sebagai peneduh panas dan hujan. Semakin lama, pedagang di sana semakin banyak.
Pada tahun 1923-1926, tempat itu digantikan oleh bangunan beton yang lebih kokoh atas perintah Sri Sultan HB VII. Namanya kemudian berubah menjadi “Pasar Beringharjo”.
Di sepanjang Jalan Malioboro pun mulai muncul warung-warung tempat berjualan di pinggir-pinggir jalan. Seiring waktu, warung-warung itu berubah menjadi gedung-gedung pertokoan permanen yang dibangun rapi di tepi jalan.
Tempat-tempat strategis seperti Kantor Gubernur DIY, Gedung DPRD DIY, Pasar Induk Beringharjo, Teras Malioboro hingga Istana Presiden Gedung Agung juga berada di kawasan ini.
Hingga saat ini, Malioboro terus berkembang dengan berusaha tetap mempertahankan konsep aslinya dulu, Malioboro jadi pusat kehidupan masyarakat Yogya. [rif]