Keterbatasan model, minimnya suplai, serta kekeliruan kebijakan oleh pemerintah dianggap biang keladi kendaraan listrik tidak diminati.
BARISAN.CO – Masalah paling fundamental dalam membangun industri kendaraan listrik di Indonesia adalah isu permintaan. Meski pemerintah sudah memberi sejumlah stimulus, nyatanya kendaraan listrik masih sepi peminat.
PT Surveyor Indonesia, selaku verifikator calon pembeli motor listrik, mengungkapkan baru ada 114 calon konsumen motor listrik sejauh ini. Angka itu jauh dari target pemerintah sebanyak 200 ribu unit.
“Sampai hari ini 112 motor yang sudah konsumennya kita verifikasi dan sesuai kriteria, tinggal menunggu proses STNK. Ada 2 sudah terbit STNK, tapi prinsipnya 114 (pembeli) sudah disetujui ikut program bantuan ini,” kata Direktur Komersial PT Surveyor Indonesia Saifuddin Wijaya, mengutip berita CNN Indonesia.
Padahal, bagi kendaraan listrik motor, pemerintah memberi subsidi hingga Rp7 juta cukup dengan menunjukkan KTP. Bagi kendaraan listrik mobil, pemerintah menggelontorkan insentif fiskal sehingga harga bisa ditekan lebih rendah sampai 32 persen.
Keterbatasan Model
Kendati terkesan lebih modern dan diklaim ramah lingkungan, penjualan mobil listrik terhambat minimnya pilihan.
Pemerintah sendiri yang mengonfirmasi hal ini. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin, menyatakan pilihan mobil listrik di Indonesia masih terbatas dua merek, yaitu Wuling dan Hyundai.
Dua merek ini tak menawarkan apa-apa. Selain itu mobil listrik keluaran Wuling dan Hyundai juga tampak monoton dari segi tampilan maupun warna.
Tantangan Suplai
Sepinya peminat juga muncul dari pengaruh kemampuan suplai yang masih tanda tanya. Kementerian Investasi menyebut, kapasitas produksi 29.000 mobil, 2.480 bus, dan 1,42 juta sepeda motor per tahun, belum cukup untuk mendukung gerakan elektrifikasi kendaraan.
Kelangkaan komponen penting kendaraan seperti chip semikonduktor juga menambah sulit peningkatan produksi. Impor bisa jadi solusi dari persoalan ini.
Namun, ketergantungan impor komponen pembentuk seperti anode, elektrolit, selubung (casing), dan separator bakal menyebabkan potensi nilai tambah industri baterai listrik itu justru lari ke luar negeri. Banyak kalangan melempar kritik dan menyebut model produksi ini tidak menguntungkan.
Salah Kebijakan
Dua nama besar di Indonesia mengkritik kebijakan elektrifikasi kendaraan: Jusuf Kalla dan Anies Baswedan.
Keduanya menganggap subsidi dan insentif adalah kebijakan yang keliru. Jusuf Kalla mengatakan percuma jika kendaraan listrik dikampanyekan jika pemerintah tidak mengimbanginya dengan pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT). Selama ini, pengisian ulang baterai kendaraan elektrik nyatanya masih menggunakan listrik yang bersumber dari pembangkit bertenaga batu bara.
Tanpa perimbangan itu, menurut Jusuf Kalla, pemerintah hanya sedang memindah emisi karbon dari knalpot kendaraan ke cerobong PLTU.
Anies Baswedan juga menganggap pemerintah salah kebijakan. Menurutnya, kendaraan listrik bukan solusi mengurangi emisi karbon. Pemerintah seharusnya menggalakkan masyarakat untuk beralih memakai transportasi umum.
Menurut Anies, transportasi umum lebih efektif menekan emisi karbon. Kendaraan pribadi, meskipun sudah bertenaga listrik, tidak mengubah apapun. [dmr]