Sebagai salah satu pewaris dalam mata rantai kemanusiaan, kita pun punya hak yang sama. Ini berarti ilmu sosial profetik itu untuk semua orang. Dan memang Islam sendiri adalah rahmatan lil alamin, tidak khusus li al-muslimun”, katanya. Pada titik itulah, Kunto ingin mengedepankan perlunya menjadikan Al-Qur’an sebagai paradigma dalam perumusan teori, khususnya dalam ilmu sosial.
Suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Untuk merealisasikan itu, Kunto menawarkan pendekatan sintetik-analitik dalam memahami Al-Qur’an. Suatu pendekatan yang memberlakukan Al-Qur’an sebagai konsep-konsep dan kisah-kisah sejarah atau amsal, dengan harapan kita dapat melakukan transformasi psikologis, sekaligus memberlakukan Al-Qur’an sebagai data atau dokumen dari Tuhan yang berisi postulat teoritis dan teologis sekaligus.
Dengan pendekatan tersebut, ayat-ayat Al-Qur’an sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif semata.
Di sinilah, Al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan Al-Qur’an akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis Al-Qur’an, yang tak lain merupakan perumusan teori Al-Qur’an.
Gagasan Kunto selanjutnya, guna meneruskan proyek perumusan teori Al-Qur’an, adalah objektifikasi. Kalau Nurcholish Madjid terkenal dengan guliran sekularisasi-nya untuk menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil alamin, nah, Kuntowijoyo hadir dengan objektifikasi.
Objektifikasi dari kata objektif, yang dimaksudkan sebagai “the act of objectifying”, membuat sesuatu menjadi objektif. Tentang objektifikasi, saya pernah menuliskannya tersendiri, dalam tiga judul tulisan. Karena saya memandang, gagasan pokok seorang Kunto, tiada lain ialah objektifikasi.
Begitu kira-kira sekilas Kuntowijoyo. Sebagaimana diakuinya sendiri, orientasi pemikirannya lebih bersifat metodologis daripada substantif, terutama jika dikaitkan dengan keprihatinannya pada posisi empiris umat Islam dalam bidang sosial-politik dan ekonomi.
Berbeda dengan Nurcholish Madjid maupun Abdurrahman Wahid yang digolongkan sebagai bercorak substantif dengan concern utamanya pada masalah-masalah sosio-etis dan teologis yang bersifat normatif, Kunto jauh lebih bersifat empiris.
Dan lebih dari itu, kapasitasnya sebagai sejarawan, yang lebih memberi perhatiannya terhadap masalah-masalah empiris dan historis daripada terhadap isu-isu normatif-teologis, Kunto tampak lebih berorientasi kepada praksis sosial. Lebih mengarah pada “interpretasi untuk aksi”, bertindak objektif, membuat Islam menjadi objektif dalam suatu kerangka paradigmatik Islam.
Namun, apa pun itu orientasinya, sosok Kuntowijoyo telah begitu dalam menggores penanya ke dalam hati saya, ke dalam benak saya. Dan, damai selalu ia dalam pangkuan-Nya!