“Ada apa, Biyung?”
“Tidak apa-apa. Sudah sore, Ayu, sebaiknya kamu segera mandi. Nanti setelah itu kamu membantu ibu untuk membuat ramuan.”
Memang jika dipikir-pikir ada benarnya, setiap orang berhak mencintai seseorang, seperti dirinya yang mencintai suaminya. Perempuan itu tidak punya hak sama sekali menyalahkan Sakawuni. Perempuan itu juga tidak punya hak menyalahkan suaminya yang mengira dirinya telah tewas. Suaminya berhak memilih. Timbul penyesalan di hatinya, telah membayangkan hal-hal keji.
Seharusnya ia tidak menyalahkan siapa pun. Justru seharusnya ia berterima kasih pada Sakawuni, telah menjaga suaminya. Seharusnya ia berterima kasih kepada Dewata masih ada orang yang mau menikahinya, di tengah keadaannya yang kotor, dinodai oleh kakak suaminya sendiri.
Perempuan itu membayangkan, jika tidak ada suaminya. Aibnya tidak mungkin tersamarkan. Tidak ada orang yang sudi dekat dengannya. Mungkin ia tidak menjadi seorang tabib. Mungkin ia sudah mati ditiang gantungan bersama janin yang dikandungnya karena dianggap mata-mata oleh Kerajaan Kediri yang akhirnya runtuh itu—ia selamat berkat suaminya yang tidak lain Kamandanu. Ia kemudian menyesal. Benar-benar menyesal. Ia memanggil-manggil anaknya yang sudah tidak ada di sisinya. Ia ingin kembali memeluk Ayu Wandira.
*Cerpen ini diambil dari serial FTV Tutur Tinular (1997), skenario karya S. Tidjab.
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018).
Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.