“Di sini negeri kami Tempat padi terhampar”
“Samuderanya kaya raya”
“Tanah kami subur jua”
“Tuan, Di negeri permai ini Berjuta rakyat bersimbah luka”
“Anak buruh tak sekolah Pemuda desa tak kerja”
“Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar”
“Bunda relakan darah juang kami untuk membebaskan rakyat”
“Mereka dirampas haknya Tergusur dan lapar”
“Bunda relakan darah juang kami Padamu kami mengabdi Padamu kami berjanji”
Pagi merangkak malas menyibak langit Jakarta. Hanya beberapa mahasiswa saja yang telihat asyik menyanyikan lagu darah juang diiringi petikan gitar yang seadanya. Mereka seakan sudah lupa bahwa semalam telah terjadi bentrokan hebat dengan aparat yang sedemikian brutalnya.
Sementara itu tenda-tenda yang didirikan para mahasiswa terlihat seperti telah letih menaungi wajah-wajah kuyu yang sebagian besarnya tak tahu untuk apa mereka hadir di tempat itu. Beberapa tiang penyangga tenda sudah terlihat sempoyongan karena terdorong oleh lalu lalang para demonstran.
Andai saja tiang-tiang tenda itu dapat berbicara, pastilah mereka akan menjerit keletihan. Hari demi hari tenda-tenda itu menjadi saksi bentrokan demi bentrokan antara mahasiswa yang dicap sebagai pembangkang dengan aparat keamanan.
Beberapa ceceran darah terlihat jelas menghiasi permukaannya. Ada yang menganggap itu adalah kegagahan. Ada pula yang menganggap itu adalah kekalahan. Namun begitu setidaknya para wajah-wajah kuyu itu telah disatukan oleh satu kata. Lawan!
Di salah satu sudut serambi gedung kura-kura itu terlihat sepasang kekasih tengah duduk berdampingan memeluk lutut mengusir hawa dingin pagi.
“apa artinya semua ini Ratna?” tanya Galih kepada Ratna setelah membaca baris demi baris tulisan kekasihnya tersebut.
Ratna hanya terdiam membisu tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Pandangannya menerawang jauh seolah hendak melompati batas pagar gedung kura-kura tersebut. Tenda-tenda mahasiswa yang didirikan di halaman gedung DPR-MPR itu masih terlihat lengang setelah semalaman begadang menghalau tentara agar tidak merengsek masuk.
“Entahlah! Aku juga tak mengerti. Yang jelas Aku takut terjadi sesuatu dengan diri kita,” timpal Ratna lirih tanpa berani menatap wajah Galih yang duduk di sampingnya tersebut.
Pikiran pemuda itupun sesungguhnya juga tengah diamuk kecemasan. Tetapi ia berusaha untuk tetap terlihat tenang. Setiap kali ia berusaha menepis kecemasannya, sebanyak itu pula kecemasan itu datang menyergap hatinya.
Bentrokan dengan aparat semalam tak urung telah membuat ciut nyalinya. Beberapa kawannya terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekatkarena terkena pentungan aparat keamanan hingga bocor kepalanya. Entah mengapa aparat keamanan akhir-akhir ini lebih sering bertindak beringas.
“Percayalah Ratna, tidak akan terjadi apa-apadengan kita . Semalam aku dapat kabar bahwa Presiden Soeharto akan segera meletakkan jabatannya dalam waktu dekat ini,” sambung Galih kembali sembari menyerahkan buku agenda milik Ratna yang baru saja dibacanya.
Pemuda itu berharap kalimat yang barusan diucapkannya dapat menghibur hati gadis tersebut. Terus terang dalam hati ia sebenarnya juga telah letih sebagaimana yang dirasakan oleh Ratna kekasihnya tersebut.