SEBUAH perjalanan dari Bani Musthaliq. Dan Aisyah serta Ummu Salamah yang kebagian menemani Nabi dalam ekspedisi ini.
Saat itu Aisyah berusia 14 tahun, suatu usia kemanjaan yang acap menggemaskan pihak lain. Sementara Ummu Salamah sudah 30 tahun.
Karena malam telah menjemput, Muhammad memerintahkan rombongan untuk beristirahat. Baru kemudian, pada tengah malam mereka melanjutkan perjalanan.
Namun, saat malam merangkak gelap, Aisyah baru sadar bahwa seuntai kalung onik yang dipakaikan ibunya pada hari pernikahannya dengan Nabi jatuh entah di mana. Dan ia tidak mau kehilangan barang miliknya yang paling berharga itu.
Nabi, demi sayangnya pada Aisyah, memerintahkan untuk menambah waktu istirahat sampai esok tiba, agar Aisyah bisa mencarinya dalam terangnya matahari pagi.
Di antara pasukan banyak yang menggerundel, karena harus menginap di tempat yang sungguh tak menyenangkan itu. Ya, di tempat itu tidak ada air. Tidak ada sumur yang bisa dijangkau. Sementara persediaan air mereka telah menipis.
Mereka berpikir bahwa esok fajar mustahil bisa mendirikan salat subuh. Tetapi di detik-detik terakhir malam itu, turunlah ayat 43 surah An-Nisa yang memerintahkan tayamum sebagai pengganti wudu.
Kita paham, tayamum dilakukan dengan cara menyentuh tanah, atau apa saja yang dianggap mengandung debu, dengan kedua telapak tangan dan menyapukannya secara lembut pada wajah dan kedua tangan.
Sontak, mereka yang sebelumnya memendam kesal langsung meluapkan kegembiraan dan memuji keberkahan keluarga Abu Bakar. Padahal sebelumnya, Abu Bakar sendiri sempat kesal sekaligus malu atas kemanjaan Aisyah.
Seusai berjamaah subuh, Aisyah mulai mencari-cari kalungnya. Tapi, hingga siang, kalung belum ditemukan. Harapan pun sirna. Dan semua, termasuk Ummu Salamah, sudah bersiap-siap di atas unta untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Aisyah putus asa, dan bersiap pula untuk berangkat tanpa seuntai kalung onik kesayangannya. Namun, begitu unta Aisyah bangkit dari tempatnya berlutut semalaman, ternyata harta miliknya yang paling berharga itu tergeletak di bawah unta.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di pemberhentian terakhir, beberapa kilometer di luar Madinah. Tetapi kejadian berulang, malam itu, tatkala hendak berangkat ke Madinah, kalung yang melingkari leher Aisyah terlepas.
Lagi-lagi Aisyah baru sadar, ketika ia dan Ummu Salamah telah duduk di atas unta mereka masing-masing. Di dalam sekedup Aisyah membuka kerudung, dan tahu bahwa seuntai onik itu tak di tempat.
Aisyah, yang sungguh tak mau kehilangan harta pemberian ibunya itu, tanpa meminta izin lebih dulu keluar dari balik tirai untuk mencari kalungnya. Sedang sahabat yang jadi pemandu unta Aisyah tidak mengetahui kalau Aisyah tak berada di dalam sekedup di atas unta.
Ke sana kemari Aisyah pun mencari. Dan cukup lama ia mencarinya. Kemudian, tatkala kalung ditemukan, ketika Aisyah kembali ke perkemahan, rombongan pasukan Nabi telah meninggalkan tempat. Ia pun duduk di tempat nyaman untuk bersandar, seraya berpikir akan dijemput.
Datang kemudian, saat awal fajar, Shafwan bin Mu’athal yang ditugaskan Nabi sebagai petugas penyapu. Ia mengambil barang-barang rombongan pasukan yang tertinggal atau terjatuh di sepanjang perjalanan.
Shafwan terkejut mendapati Aisyah terduduk bersandar. “Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Ini istri Rasulullah Saw!” ucap Shafwan yang tak menyangka Aisyah bakal tertinggal dari rombongan.
Lantas Shafwan mempersilakan Aisyah naik di untanya. Ia sendiri berjalan sambil menuntun unta tersebut hingga bertemu dengan rombongan Nabi yang tinggal sejengkal memasuki kota Madinah.
Rombongan itu pun terkejut, terutama pemandu unta Aisyah yang lekas sadar bahwa sekedup di atas unta yang ia tuntun ternyata kosong. Bersama-sama, rombongan itu menginjakkan kaki di kota.
Sebagaimana biasa, seusai perang, harta rampasan dibagi-bagi. Dan di dalam rampasan itu ada seorang tawanan, Juwayriah binti Harits, putri kepala Bani Musthaliq.
Juwayriah telah menjadi bagian seorang Anshar dengan harga tawaran yang sangat melambung tinggi untuk pembebasannya. Juwayriah berpikir bahwa ayahnya pun tak bisa menebus dirinya.
Juwayriah menghadap Nabi untuk turut menyelesaikan masalahnya. Saat itu Muhammad sedang di pondok Aisyah.
Begitu Aisyah melihat keelokan rupa Juwayriah, nalurinya bergolak. Rasanya Aisyah ingin mencegat agar perempuan ini tak jadi menemui suaminya, tapi tak tega juga membayangkan masalah yang melilit Juwayriah. Aisyah mengantarnya.
Di hadapan Muhammad, setengah menangis Juwayriah berkata, “Rasulullah, aku putri pemimpin Bani Musthaliq. Kau lihat sendiri saat ini kami kalah perang. Suamiku terbunuh, dan aku jatuh sebagai tawanan Tsabit bin Qais. Ia memang lelaki baik, tak pernah berlaku buruk padaku.
“Namun, begitu kukatakan aku ingin menebus diri, dan ia tahu siapa aku, ia melejitkan harga tebusan. Rupanya ia ingin memeras harta dariku, tetapi aku tak punya. Maka, kupikir lebih baik minta perlindungan padamu. Tolong, bebaskan aku, wahai Rasulullah!”
Terenyuhlah Muhammad mendengar penuturan perempuan ini. Ia membayangkan seorang putri kepala suku, yang bergelimang kehormatan dan martabat, tiba-tiba jatuh hina laksana budak.
“Aku akan menebusmu dan menikahimu,” kata Muhammad, yang juga turut disimak Aisyah yang duduk di sebelahnya.
Seketika hati Juwayriah binti Harits berbunga-bunga. Ia langsung berasa terbang karena akan menjadi istri seorang pemimpin yang gagahnya tak menyusut ini. Apalagi ia seorang nabi. Maka, harga diri Juwayriah akan jauh melambung daripada sebelumnya.
Tetapi tanpa disadari Juwayriah, duduk seorang muda di sebelah Muhammad yang justru kesal sembari memegang seuntai kalung onik melingkari lehernya.
Ya, seuntai kalung onik, yang sempat dua kali terjatuh setelah memenangi suku yang dihuni Juwayriah.
Ungaran, 13 April 2023