Meskipun, misalnya, sudah ada sekitar 40 daerah di Indonesia yang memiliki peraturan mengenai pembatasan dan pelarangan penggunaan kantong plastik, itu belum cukup menunjukkan adanya pengurangan signifikan. Jumlah sampah justru terus naik dari tahun ke tahun seturut populasi yang juga bertambah banyak.
Pada tahun 2018, Indonesia menghasilkan sebanyak 127.077 GgCO2e limbah—atau setara dengan 8% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional. Dari total jumlah limbah itu 29,72% (37.765 GgCO2e) di antaranya merupakan sampah padat domestik dan 18,44% (23.432 GgCO2e) merupakan limbah cair domestik. Artinya, nyaris separuh limbah nasional datang dari rumah-rumah masyarakat.
Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengatur limbah-limbah itu agar sedemikian rupa sesuai dengan target Perjanjian Paris yang diratifikasi pemerintah pada tahun 2016. Dalam Perjanjian Paris, disebutkan bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK limbah sebanyak 0,38% dengan usaha sendiri atau 1% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Pemerintah perlu lebih mendorong partisipasi publik. Hari ini misalnya, menurut catatan KLHK, ada sekitar 11.239 unit bank sampah yang tersebar di 34 provinsi. Banyak dari bank sampah itu tumbuh secara swadaya di masyarakat.
Dikutip dari Kompas, bank sampah di Indonesia punya beragam variasi tergantung dari jumlah nasabah dan volume sampah yang dihasilkan setiap bulan. Hal itu memengaruhi omzet bank sampah yang juga berbeda-beda. Ada bank sampah yang beromzet Rp300 ribu per bulan dengan jumlah anggota sekitar 60 orang. Namun, ada juga yang omzetnya mencapai Rp8 juta dengan nasabah ratusan orang.
Sistem bank sampah yang sedang tumbuh ini patut menjadi perhatian. Andaikata pemeritah dapat memberikan stimulus untuk pelaku usaha persampahan, tentu akan sangat luar biasa dampaknya bagi pengelolaan sampah di masa depan.
Dalam kertas kerja Koalisi Generasi Hijau tercatat, jika pemerintah dapat memberi stimulus persampahan pada tahun 2022, diperkirakan akan ada peningkatan daur ulang sampah sampai dengan 40.000 ton/hari, atau setara dengan manfaat ekonomi senilai Rp23 triliun/tahun.