Dinamika Politik Kartel
Pendiri Saiful Mujani Research and Consultan (SMRC) Prof. Saiful Mujani melihat tanda-tanda Pilgub DKI Jakarta dan Pilkada Serentak di sejumlah deerah di Indonesia diwarnai berbagai tekanan koalisi pemenang Pilpres 2024. Tekanan koalisi ini terlihat dari sejumlah indikasi seperti perubahan sikap dan dukungan partai-partai kepada kandidat-kandidat yang akan berlaga di Pilgub Jakarta.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, sebelumnya telah mendeklarasikan Pasangan Cagub dan Cawagub Anies Baswedan dan Sohibul Iman (AMAN). Belakangan, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu mengumumkan hasil Musyawarah Dewan Syura PKS di Kantor DPP PKS, Jakarta, Sabtu (10/8/2024) justeru menyatakan, telah berkomunikasi dengan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia terpilih pada Pilpres 2024.
Pernyataan tersebut sekaligus sebagai isyarat atau sinyal PKS meninggalkan Anies dan akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Bahkan kemungkinan besar PKS masuk pada kabinet Prabowo mendatang. Sebelumnya sejumlah politisi PKS berdalih, Cagub DKI Anies telah diberikan tenggat waktu 40 hari hingga 4 Agustus 2024 untuk mencari dukungan tambahan di Pilgub DKI Jakarta. Ini pernyataan aneh bin Ajaib. Sebab, Anies hanya Cagub DKI. Sementara yang mempunyai kekuatan politik tawar menawar kuat ke Parpol lain adalah Pimpinan PKS.
Sampai deadline pengusulan nama Cawagub DKI, Anies dianggap tidak mampu melakukan pendekatan dengan Parpol lain. Dengan alasan itu pula, PKS melirik dan ‘main mata’ dengan poros KIM dan bertandang ke presiden terpilih Prabowo. Dengan alasan berbeda namun tujuannya beririsan, tampaknya dilakukan oleh Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan membelot ke KIM sehingga muncul KIM-Plus.
Jika PKS bergabung dengan KIM Plus, berdampak Koalisi Perubahan (KP) malah menjadi KP-Minus, serta cerai berai. Secara otomatis Anies ditinggal sendirian begitu saja. Tinggal PDI Perjuangan yang memiliki 15 kursi. Hanya saja jika ingin mencalonkan Anies atau mencalonkan Cagub DKI sendiri, PDI Perjuangan harus bergabung dengan Parpol lain untuk dapat menggenapi 22 kursi di DPRD DKI sebagai syarat Parpol atau gabungan Parpol dapat mengajukan Cagub dan Cawagub DKI di Pilgub DKI 2024. Tentu ini bukan hal yang mudah.
Jika semua tiket Cagub DKI diborong oleh KIM Plus menjadi kenyataan, opsinya tinggal dua, yakni: Pertama, Ridwan Kamil (RK) yang digadang-gadang Cagub DKI dari KIM Plus tidak akan mendapat lawan Cagub DKI Anies karena sudah ditinggalkan oleh PKS maupun Koalisi Perubahan. Sedangkan Cagub DKI dari PDI Perjuangan karena juga mengalami kekurangan dukungan politik untuk dapat mengajukan Cagub DKI dan Cawagub DKI di Pilgub DKI 2024 berada pada posisi kritis dan penuh ketidakpastian.
Opsi kedua, RK akan berkontestasi melawan calon perseorangan, yakni: Dharma Pongrekun yang berpasangan dengan Kun Wardana Abyoto (Dharma-Kun). Dengan catatan, pasangan Dharma-Kun lolos dari verifikasi administrasi (vermin) dan verifikasi faktual (verfak) lalu ditetapkan oleh KPU DKI menjadi Cagub DKI dari perseorangan. Jika tidak lolos vermin dan verfak, maka RK berpotensi melawan kotak kosong.
Kerja-kerja politik kartel membangun skenario sistematis semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan tanpa desain dan rekayasa politik canggih. Hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh suatu kekuatan besar (powerful) yang biasa disebut dengan oligarki. Pengalaman pada sejumlah negara, oligarki itu sesungguhnya bisa dijinakkan, ditaklukan dan dikendalikan. Syaratnya antara lain tersedianya dukungan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang kuat, solid dan bersatu. Masalahnya sejak beberapa Pemilu atau Pilkada terakhir, kekuatan OMS di Indonesia cenderung lemah, rapuh dan terfragmentasi. Karenanya saat ini sulit diharapkan menjadi lokomotif gerakan demokratisasi yang efektif. Apalagi harus melawan kartel politik atau oligarki politik.