Scroll untuk baca artikel
Blog

SP3 KPK: Preseden Buruk Penegakan Hukum Korupsi

Redaksi
×

SP3 KPK: Preseden Buruk Penegakan Hukum Korupsi

Sebarkan artikel ini

Isu krusial lain, terkait SP3 adalah,adanya pembatasan waktu penyidikan selama dua tahun. Pasal dan ayat ini banyak dikritik karena dianggap isinya naif. Bagaimana mungkin waktu penyidikan perkara korupsi yang sangat besar, kompleks dengan banyak aspek yang harus diselidiki,limit waktunya dibatasi. Pasal ini dianggap “simplikasi” terlalu menyederhanakan masalah. Dapat dibayangkan, dalam kasus besar seperti BLBI ini, selain pencarian bukti memakan waktu lama karena tersebar di dalam atau luar negeri, juga banyak aspek yang harus divalidasi dengan kehati-hatian. Dalam konteks ini, jelas ayat ini terlampau menyederhanakan masalah atau bisa jadi “sengaja” dibuat demikian untuk mendapatkan jalan pintas. Koruptor pun tidak bodoh, terlalu mudah bagi mereka menyiasati pasal ini. Bersembunyi di negara Singapura selama dua tahun, sudah cukup mengeliminir pasal ini. Padahal, seperti diketahui, kasus korupsi kerap menjerat pejabat yang kadang sulit (dipersulit) diproses hukum.

Kasus BLBI

Kasus ini diawali dari terbitnya SKL terhadap obligor BLBI yang telah lama menarik perhatian publik pada 1998. Pada saat itu, di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia tak terkecuali Indonesia, banyak institusi perbankan terdampak dan masuk pada kategori sebagai Bank Take Over maupun Bank Beku Operasi. Di antara sekian banyak bank yang terancam bangkrut tersebut adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dengan pemegang saham pengendali (PSP) atau milik Nursalim. Melihat kondisi saat itu, Bank Indonesia pun mengucurkan BLBI kepada BDNI sebesar Rp 30,9 trilyun. Setelah dicairkan, dalam waktu tidak terlalu lama, pemerintah mencium gelagat yang tidak baik, karena adanya berbagai penyimpangan atas suntikan dana tersebut.

Setelah dianalisis, BI berkesimpulan memang ada indikasi yang dicurigai. Kemudian, BDNI diwajibkan melakukan penyelesaian melalui mekanisme  Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

Berdasar pada MSAA, terhitung jumlah kewajiban pembayaran Nursalim, setelah dikurangi seluruh aset miliknya adalah sebesar Rp 28 trilyun. Perhitungan ini menimbulkan masalah ikutan, yakni satu aset yang dijaminkan oleh Nursalim, yakni pinjaman kepada petani tambak senilai Rp 4,8 trilyun, ternyata digolongkan sebagai kredit macet (misrepsentasi). Kesimpulan ini diambil berdasarkan Financial Due Dilligence (“FDD”) merupakan kegiatan pemeriksaan secara seksama yang dilakukan oleh akuntan publik / konsultan keuangan terhadap suatu perusahaan mengenai kondisi finansial dari perusahaan target dalam hal ini perusahaan Nursalim. Setelah melalui audit tersebut, Kementerian Keuangan melakukan croscheck yang hasilnya pada tahun 2007, ternyata aset Nursalim hanya laku sebesar Rp 220 milyar. Disimpulkan, selisih penjualan itu yang kemudian diklaim sebagai kerugian negara oleh BPK. Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa aset yang sediakala sudah diketaui bermasalah, akan tetapi tetap diterbitkan SKL oleh Tumenggung yang kala itu menjabat sebagai Kepala BPPN.

Tumenggung sebenarnya memiliki cerita sendiri yang jika dikaitkan dengan kasus ini tentu banyak mengandung kejanggalan. Misal muncul pertanyaan, mengapa aset yang sediakala sudah dketahui bermasalah, akan tetapi tetap diterbitkan SKL oleh Tumenggung. Tentu hal ini, sangat ganjil. Uniknya lagi Tumenggung kala itu tidak dikenai pidana sebagaimana disebutkan dalam putusan kasasi. Perspektif Pidana, unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Tumenggung sudah jelas terlihat. Misalnya, sebelum menjabat Kepala BPPN, Tumenggung sempat menduduki posisi sebagai Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Pada saat menjabat, Tumenggung sempat bertemu dengan Nursalim untuk menagih pembayaran hutang BDNI. Di samping itu beberapa hari sebelum SKL itu diterbitkan, Tumenggung selaku Kepala BPPN juga sempat mengusulkan pada forum terbatas yang dihadiri Presiden Megawati untuk menghapus (write off) hutang Nursalim. Namun, rapat tersebut tidak mengasilkan putusan apa-apa. Ini menandakan pemerintah kala itu tidak menyetujui usulan dari Tumenggung.