TIDAK berlebihan bila saya menyandingkan Anies Rasyid Baswedan dengan Sukarno. Ini hak subjektif saya untuk menilai dan ini bagian dari kebebasan intelektual dan juga kebebasan berpendapat.
Seseorang yang berideologi seperti Sukarno tidak harus ikut bergabung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bisa jadi malah orang yang di luar PDIP lebih lebih menyelami dan berkarakter Sukarno.
Sama halnya banyak praktik kehidupan di Eropa atau di Skandinavia yang lebih islami dibandingkan dengan perilaku umat Islam di negara muslim.
Sukarno adalah tokoh bangsa dan juga milik dunia. Ideologi dan karakternya sudah pasti menginspirasi banyak orang. Sukarno adalah teks, bacaan, nilai dan karakter yang sudah menjadi milik publik. Siapapun bisa menjadikannya sebagai benchmark.
Ideologi Sukarno yang menjadi masterpeace dan simbol perlawanan atas kolonialisme adalah Marhaenisme. Ajaran ini hasil perenungan panjang dan kesaksian langsung Sukarno saat usia 20 tahun ketika kuliah di de Techniche Hoogeschool te Bandung (ITB).
Seperti diceritakan dalam berbagai buku sejarah yang mengacu pada buku karya jurnalis Cindy Adams “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Marhaenisme terinspirasi dari pertemuan Sukarno saat bersepeda di selatan Kota Bandung dan bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen.
Marhaen adalah tipe petani paling miskin yang menggarap sawah sendiri, peralatan milik sendiri dan juga hanya dapat mencukupi keluarga sendiri. Marhaen adalah tipe proletarian sejati seperti bangsa Indonesia pada umumnya dan galibnya petani Indonesia masa kini.
Marhaen didefinisikan sebagai orang yang memiliki lahan kecil, peralatan sederhana dan milik sendiri dan hasilnya hanya cukup untuk menghidupi keluarga sendiri. Marhaen dalam pengamatan Sukarno masih ‘lebih beruntung’. Sangat ironis dengan petani zaman sekarang yang justru beli beras dan nyambi jadi tukang ojek.
Kalau ingin melihat kemiskinan lihat petani. Kalau ingin melihat ketidakadilan lihat petani. Ketika ingin mengukur kesejahteraan lihat petani. Ketika ingin melihat pembangunan berhasil atau gagal lihat petani. Ketika ingin melihat pemerintah berpihak kepada rakyat kecil atau kepada oligarki lihat petani. Petani adalah indikator.
Anies Menguji Marhaenisme
Anies sebagai bakal calon presiden yang diusung Koalisi Perubahan untuk Keadilan kerap terjun langsung ke masyarakat untuk bersilaturahmi dan menyerap aspirasi masyarakat. Sekaligus Anies juga ingin menguji apakah masih banyak Marhaen di Indonesia.
Anies sejak jadi gubernur DKI Jakarta kerap bersentuhan dengan petani. Sebagai penguasa Jakarta, Anies berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya lewat BUMD PT Food Station Tjipinang Jaya salah satunya menyediakan stok beras yang cukup.
Untuk menyediakan pasokan itu, Anies langsung bersentuhan dengan petani di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung. Anies bekerja sama langsung dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di setiap daerah tidak dengan tengkulak atau pengusaha besar.
Saat kunjungan tersebut, Anies kerap mendapat keluhan dan masukan dari para petani. Mereka umumnya mengeluh soal bibit, pupuk, impor beras, hama dan penyuluh pertanian yang minim.
Nah, dalam acara “Temu Kebangsaan Relawan Anies Baswedan” di Tennis Indoor Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (21/5/2023), mengungkapkan hasil incognito (penyamarannya) — Anies menyebutnya tirakat — ketika berkunjung ke wilayah Grobokan, Jawa Tengah, belum lama ini.
Berikut cerita Anies selengkapnya yang dikutip dari detik.com saat Anies bertemu seorang petani bernama Suwarto. Anies bertanya mengenai situasi tersulit saat ini sebagai petani. Pertanyaan diajukan sebelum Anies memperkenalkan diri.
“Pak saya sing repot urusan pupuk, rabuk paling angel pak, arep ngerabuk, ono sing rabuk subsidi, rabuk non subsidi, ora koyo zaman biyen, zaman biyen tinggal ning warung nggowo ember langsung iso tuku rabuk, saiki arep ning warung ditakoni pak, ‘jenengan non subsidi opo subsidi?’ Lha wong awak dewe kira nduwe duit mosok iso mbayar. Yo mesti subsidi.”
(Pak saya itu repotnya urusan pupuk, pupuk itu susah sekali, mau pakai pupuk, ada pupuk yang subsidi, pupuk non subsidi, tidak seperti zaman dahulu, zaman dahulu hanya perlu datang ke warung bawa ember saja bisa langsung beli pupuk, sekarang mau ke warung aja pasti ditanya ‘Anda subsidi atau non subsidi?’. Lha kita kan nggak punya uang, mana bisa bayar pupuk yang non subsidi. Ya pasti (pilih) subsidi.)
Ketika Anies menyambung, “Bagaimana kalau besok?”
“Dikembalikan seperti zaman dulu saja, Pak'” kata Suwarto seperti ditirukan Anies.
Dalam tirakat tersebut Anies memang tidak bertemu Marhaen. Anies hanya bertemu petani seperti Suwarto. Ternyata, nasib Suwarto masih seperti nasib Marhaen di zaman kolonial sebelum kemerdekaan.
Kini memasuki usia Kemerdekaan ke-78 Indonesia, masih saja ditemukan banyak Marhaen, Suwarto dan kaum proletarian yang tertindas.
Bila Marhaen di zaman Sukarno ditindas penjajah dan para kompradornya, di zaman kiwari Suwarto ditindas bangsanya sendiri (penguasa, oligarki, politikus dan pemburu rente). Lebih biadab!