Tanda hubung dan tanda pisah bentuknya hampir sama, namun pemakaian keduanya berbeda.
BARISAN.CO – Garis melintang dalam bahasa teks bukan sekadar tanda tanpa makna. Panjang pendek garis lintang punya arti berbeda. Bila pendek maka itu adalah tanda hubung (-) dan bila panjang maka itu adalah tanda pisah (—).
Pemakaian tanda hubung (-) misalnya bisa kita temui pada kata seperti kupu-kupu, laba-laba, berulang-ulang, dan lain-lain, termasuk kata yang belakangan viral oleh Presiden Jokowi: cawe-cawe.
Menurut KBBI, tanda hubung adalah garis untuk menghubungkan unsur kata yang terpisah oleh pergantian baris, memisahkan bentuk ulang, atau menggabungkan unsur bentuk majemuk.
Sementara itu, dengan memiliki panjang yang berbeda dari tanda hubung, aturan pemakaian tanda pisah (—) juga amat berbeda.
Tanda pisah menurut kaidah berfungsi untuk menengahi dua bilangan, tanggal, maupun tempat.
Beberapa contoh pemakaian tanda pisah misalnya:
- Pandemi memakan banyak korban pada tahun 2020—2021.
- Proyek kereta cepat Jakarta—Bandung belum selesai.
- Acara KTT Asean berlangsung pada tanggal 9—11 Mei 2023.
Tanda pisah ini juga umum terpakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan khusus di luar bangunan kalimat. Perhatikan petikan contoh cerita novel dengan gaya penulisan melantur berikut:
“Saya bangun tidur pukul sebelas siang—brengsek, telat lagi, urusan pasti jadi kacau lagi—padahal saya berencana bangun pukul tujuh pagi. Di lantai bawah terdengar suara istri saya—tidak jelas apa yang ia katakan—mungkin sedang melarang anak-anak. Ia selalu merasa perlu menyampaikan larangan kepada anak-anak dan setiap hari ia pasti mengucapkan kata: ‘Jangan…!’”
Kerancuan Pemakaian
Tanda pisah dan tanda hubung sering dengan mudah tertukar. Hal ini terjadi sebab keduanya berbentuk sama. Bisa juga karena proses menciptakan tanda—dalam hal ini tanda pisah—pada papan ketik umumnya kurang praktis.
Kesalahan penulisan barangkali bisa dimaklumi pada mereka yang tidak bekerja pada profesi berbasis teks. Namun, pada orang-orang yang berprofesi wartawan, kreator konten, penerjemah, dan lain-lain, agaknya cerita menjadi lain.
Profesi-profesi tadi menuntut keahlian. Keahlian ditunjukkan dengan penguasaan terhadap detail. Bila detail luput dari perhatian mereka, maka keahliannya boleh jadi perlu dipertanyakan.
Meski demikian, kaidah berbahasa bukanlah sesuatu yang demikian membatasi, membekuk, dan mengharuskan. Kaidah bisa saja terlanggar, dengan sengaja maupun tidak. Namun harus dipahami bahwa setiap pelanggaran menimbulkan konsekuensi. [dmr]