Konoha dan Wakanda sering dipakai publik dunia maya untuk mengumpamakan Indonesia yang penuh dengan masalah.
BARISAN.CO – Konoha dan Wakanda mulanya adalah sebuah wilayah fiktif yang muncul di Komik Marvel dan anime Naruto. Dua wilayah ini belakangan kerap didengungkan warganet dan menjadi fenomena kebahasaan yang unik.
Calon Presiden Anies Baswedan, Selasa (29/8/2023), menyoroti dengan baik bagaimana dua wilayah fiktif ini muncul silih berganti.
Menurut Anies, maraknya penyebutan keduanya mencerminkan rasa takut publik untuk terang-terangan mengkritik pemerintah Indonesia.
Warganet enggan secara langsung menyebut ‘Indonesia’, alih-alih memainkan eufemisme bahasa saat melancarkan kritik-kritik keras.
Ini sebetulnya bukan hal baru. Dulu, penulis kolom maupun sastrawan zaman Orde Baru acap menyebut ‘Astina’ atau ‘Negeri antah berantah’ untuk mengkritik rezim Soeharto.
Bisa ditengarai, UU ITE adalah alasan di balik maraknya pemakaian Konoha dan Wakanda. Pasal-pasal karet yang ada di dalamnya memaksa publik untuk melakukan self cencorship untuk tidak menyebut Indonesia.
Gara-gara UU ITE, publik takut ditangkap untuk hal-hal yang sebetulnya lumrah terjadi di negara demokrasi. Di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Indonesia, Anies Baswedan mengatakan, “Ketika kita berdemokrasi ada ketakutan sesungguhnya ini tanda-tanda yang tidak sehat.”
Fenomena Kebahasaan
Wakanda adalah negeri fiksi yang terletak di Afrika Sub-Sahara dan merupakan kampung halaman pahlawan super Black Panther. Konoha adalah kampung halaman Naruto, tokoh anime yang menyedot banyak perhatian anak-anak yang tumbuh sekitar tahun-tahun 2010.
Makin banyaknya pernyataan figuratif tentang Konoha dan Wakanda menandakan Indonesia sedang tidak beres. Dalam hal ini, publik yang gerah melihat masalah-masalah telah secara kreatif menciptakan bahasa kelakar yang punya sisi gelap.
Daripada mengkritik terus ditangkap, mendingan bermain dengan perumpamaan. Maksud dari kritik itu barangkali tidak tersampaikan secara utuh bagi orang yang tidak tahu baik Konoha dan Wakanda. Tetapi, ini adalah cara terbaik yang bisa dilakukan warga biasa yang hidup di bawah republik otoriter. Mungkin begitu jalan pikiran masyarakat kita.
“Kebebasan berbicara harus jadi prioritas yang kita bereskan di 2024 ke depan,” kata Anies Baswedan.
Dengan arti lain, akar masalah dari ketakutan publik, yakni UU ITE, harus dikembalikan pada marwahnya untuk melindungi transaksi elektronik. Bukan untuk mengkriminalisasi kritik warga negara. [dmr]