SAYA tidak terkejut ketika Toko Buku Gunung Agung yang berpusat di kawasan legendaris Kwitang, Jakarta Pusat, dikabarkan tutup secara permanen. Namun, kita juga harus berempati dan juga merasakan kesedihan kepada ratusan karyawan yang pada saat bersamaan kehilangan pekerjaan.
Bisnis toko buku konvensional memang kinerjanya terus menurun. Termasuk toko besar sekalipun selevel Toko Buku Gramedia.
Lima sampai 10 tahun lalu kita masih menemukan hampir di semua mal besar selalu ada Toko Buku Gramedia. Kini hanya bisa dihitung jari. Hanya Toko Gramedia yang mandiri seperti Toko Gramedia Matraman dan Toko Gramedia Depok yang masih menggeliat.
Namun, belakangan ini semakin banyak perbedaan yang menyolok. Selain variasi buku yang berkurang (mayoritas terbitan buku Grup Gramedia), jumlah karyawan, pengunjung juga semakin menyusut.
Saya juga merasakan seperti di Gramedia Depok, lampu penerang toko pun semakin redup, pendingin ruangan yang tidak maksimal dan kadang malah menggunakan kipas angin. Ini semua mungkin dalam rangka penghematan.
Tidak sepenuhnya lantaran minat baca rendah tetapi memang lantaran telah terjadi disrupsi dari penjualan konvensional ke platform digital. Gramedia dan Mizan misalnya kini sangat serius dan terus berkembang membangun autlet digitalnya secara masif.
Kondisi ini yang tidak diantisipasi Toko Buku Gunung Agung. Terlalu asyik bermain sebagai toko buku murni tidak seperti Mizan dan Gramedia yang juga memiliki penerbitan.
Padahal dalam sejarahnya, Gunung Agung juga dikenal sebagai penerbitan. Banyak buku-buku hebat seperti biografi tokoh nasional dan dunia serta buku sastra yang diterbitkan Gunung Agung. Terakhir saya memiliki dua novel karya sastrawan Iwan Simatupang, “Kering” dan “Merahnya Merah” yang diterbitkan Gunung Agung.
Generasi Dilan
Untuk generasi Dilan dan Milea yang hidup tengah “brutal-brutalnya” pada tahun 90-an, Toko Buku Gunung Agung termasuk tempat nongkrong dan pernah mewarnai kehidupan intelektual pada masanya.
Saat di Bogor misalnya, ketika masih jadi mahasiswa yang gagap dari udik selepas ngaji di Masjid Algifari Fakultas Kedokteran Hewan IPB Baranangsiang, saya selalu menyempatkan diri mampir ke toko buku. Karena tak bisa beli buku yang harganya mahal, biasanya saya membaca buku di Gunung Agung Graha Internusa di seberang Kebun Raya tak jauh dari RS PMI Bogor. Kalau tidak selesai dilanjutkan hari esok atau pekan depannya. Selalu begitu. Betapa berutang budinya saya kepada Toko Buku Gunung Agung.
Sekira tiga tahun lalu, saya sempat mampir ke Toko Buku Gunung Agung Kwitang di samping Kali Ciliwung. Saya menemukan dua buku yang selama ini dicari, dua kumpulan cerpen karya WS Rendra “Pacar Seorang Seniman” dan “Kenang-kenangan Seorang Wanita Pemalu”.
Bagi pecinta buku, tutupnya sebuah toko buku seperti tragedi. Sedih dan menyakitkan.
Tapi zaman memang sudah berubah. Sekali lagi, terimakasih Toko Buku Gunung Agung!