Hal itu membutuhkan penurunan nilai belanja negara secara sangat signifikan. Belanja negara pada tahun 2021 menurut outlook pemerintah sendiri akan mencapai Rp2.697,24 triliun. RAPBN 2022 merencanakan sebesar Rp2.708,68 triliun.
Sebagai tambahan informasi, rata-rata kenaikan belanja selama periode 2014-2022 adalah sebesar 6,15% per tahun. Selama belasan tahun terakhir, belanja tercatat terus mengalami kenaikan, nyaris tidak pernah turun.
Selain karena kebutuhan, ada faktor kenaikan harga-harga atau inflasi. Umpama nilai belanja tetap dari tahun sebelumnya berarti belanja riil sebenarnya mengalami penurunan.
Sulit membayangkan kebijakan fiskal apa yang akan diambil untuk memenuhi batas defisit 3% pada tahun 2023. Menurunkan belanja sedikitnya sebanyak Rp212 triliun dibanding tahun 2022, akan cukup “menggoncangkan”. Terkait layanan publik yang terancam akan berkurang. Seolah akan ada “rem mendadak” pada aktivitas pemerintah.
Ada kemungkinan pendapatan akan digenjot, terutama penerimaan perpajakan sebagai andalan, agar melebihi prakiraan di atas. Hal ini akan menimbulkan soalan yang cukup rumit. Kajian tentang seberapa besar pengaruh “crowding out” bagi sektor nonpemerintah saat ini saja belum memadai. Belum lagi aspek sosial politik terkait rasa keadilan dan persepsi publik lainnya.
Penulis berpandangan penurunan defisit yang lebih signifikan seharusnya sudah mulai pada tahun 2021 dan 2022 ini. Masih ada waktu dalam realisasi APBN 2021, agar defisit hanya di kisaran 5%. Dan masih ada waktu pembahasan dan penetapan untuk RAPBN 2022, agar defisit kurang dari 4%. Proses demikian jauh lebih rasional dan bersifat “pengereman” yang lebih aman. [rif]