BAGI siapa yang mau mengetahui bagaimana perihnya hati seorang perempuan yang terluka akibat menjadi orang yang kedua, novel Perempuan Terluka karya penulis asal Pakistan, Qaisra Shahraz, patut untuk dijadikan pegangan.
Setelah The Holy Women menggaet Golden Jubilee Award pada 2002, Qaisra Shahraz kembali menunjukkan kepiawaiannya memadu cerita dengan menerbitkan Typhoon yang kemudian diterjemahkan sebagai Perempuan Terluka. Sebenarnya, novel ini merupakan proyek dari trilogi yang direncakan.
Tidak berbeda dengan Perempuan Suci, dalam sekuelnya ini Qaisra tetap mengusung feminisme. Kali ini fokus penceritaannya bukan Zarri Bano, melainkan tiga perempuan yang terluka hatinya. Mereka adalah korban: dua orang terluka akibat keputusan yang tidak adil, sedangkan satunya lagi karena peristiwa “laknat” yang terjadi di masa gadisnya.
Dari sini pembaca bisa merasakan kecenderungan pengarang untuk mengkritik sikap emosional. Sebenarnya sikap tersebut tidak hanya dimiliki oleh kaum hawa, tapi ia merupakan potensi yang ada dalam setiap manusia, termasuk lelaki.
Bahkan jika seorang lelaki memiliki sikap emosional justru memiliki dampak yang lebih berbahaya. Dan itu pengarang wujudkan dalam bentuk cerita yang apik.
Untuk plot, novel ini berbeda dengan sekuelnya yang pertama. Di sini Qaisra tidak menggunakan tekhnik linier, tapi lebih banyak flash back. Kalau dihitung-hitung sepertiga dari novel setebal 400 halaman ini menggunakan tekhnik flash back.
Novel ini dibuka dengan ketegangan yang meliputi desa Chiragpur: sang kamitua desa tengah meregang nyawa. Kamitua itu bernama Baba Siraj Din, kakek Zarri Bano.
Namun, peristiwa sakaratul maut itu memakan waktu yang tidak sebentar. Seakan-akan ruhnya sulit bercerai dengan jasad. Lalu, di tengah peristiwa paling menegangkan dalam hidup manusia itu, pikiran Baba Siraj Din terlempar ke masa lampau.
Sebenarnya pikirannya itulah yang membuat ia berharap agar jiwanya tidak dahulu meninggalkannya. Perasaannya dihantui terus-menerus akan sebuah dosa yang pernah ia lakukan. Pikirannya selalu disesaki kata-kata thalak!
Dosa yang dimaksud adalah keputusan yang diambil ketika ia masih menjadi hakim adat di Chiragpur. Gara-gara keputusan yang dia ambil dua wanita terluka batinnya: Gulshan dan Naghmana. Keputusan tersebut ia ambil ketika diadakan kacheri atau pertemuan desa untuk membahas sebuah langkah hukum.
Sebenarnya, semua pihak tidak menginginkan diadakan kacheri. Pasalnya, dalam musyawarah umum yang dihadiri penduduk desa dan dikepalai seorang kadi tersebut, seseorang yang dinyatakan bersalah akan mendapatkan hukuman yang berat.
Dan, kekhawatiran penduduk terbukti. Di suatu siang yang terik Baba Siraj Din selaku kadi menggelar musyawarah tersebut di gedung madrasah. Pada mulanya, Siraj Din tak mau menggelarnya. Tapi, ia terus dipaksa oleh Hajra, ibu Gulshan dan mertua Haroon. Hajra memaksanya untuk menghukum Haroon. Ini berawal dari penuturan anaknya bahwa sang menantu sedang bermesraan dengan wanita lain. Sebenarnya, sebagai seorang ibu ia tak memercayai begitu saja apa yang dikatakan anaknya. “Kau hanya membayangkannya saja, putriku sayang, ya kan?” tanya Hajra ke anaknya.