Di samping itu, Nichols pun menyadari bahwa fenomena tersebut tidaklah baru. Hanya saja, seiring berjalannya waktu malah makin mengemuka serta menyebar luas karena kemutakhiran teknologi.
Internet memberikan akses luas ke informasi dibanding sebelumnya, yang menjerumuskan kepada ilusi pengetahuan, yang berkutat hanya pada data dan berita yang diinginkan.
Apalagi, tidak dapat dinafikan bahwa fakta, rumor, dan kebohongan, bahkan juga analisis serius, spekulasi gila-gilaan, hingga propaganda juga mudah ditemukan dalam jelajah online itu. Karenanya, seseorang sangat riskan mengalami bias konfirmasi.
Seperti kata Nichols, “untuk mencari informasi yang hanya mengonfirmasi apa yang kami yakini, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan pilihan kami, dan menolak data yang menantang apa yang kami terima sebagai kebenaran.”
Itulah sebabnya, ia menyayangkan efek dari fenomena itu yang mendestruksi dialog publik yang konstruktif dan positif. Untuk itu, fallacy dan ad hominem sering didapati dalam perdebatan.
Selain itu, Nichols pun menyoroti perubahan dalam pengaruh mediasi jurnalisme terhadap hubungan antara pakar dan warga negara. Di mana keberadaan Google yang perannya lebih dominan dalam memperkuat gabungan informasi dan pengetahuan serta pengalaman.
Bahkan, kontribusi pendidikan tinggi pada buruknya hubungan antara para ahli dan warga negara juga tidak luput dari perhatiannya. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, dia menyebutkan keterlibatan akademisi dalam memperkeruh hubungan tersebut.
Dalam uraiannya, Nichols pun mengkritisi bagaimana perguruan tinggi memperlakukan mahasiswa sebagai klien, dan akibatnya terlalu bergantung pada kemanjuran dan relevansi penilaian mahasiswa kepada profesornya.
“Mengevaluasi guru menciptakan kebiasaan pikiran di mana orang awam menjadi terbiasa menilai ahli, meskipun berada dalam posisi yang jelas, memiliki pengetahuan yang lebih rendah tentang materi pelajaran,” keluhnya.
Karenanya, serangan terhadap para ahli dengan mencapnya sebagai “elitis” dalam wacana publik AS, jika ditarik lebih jauh tidak lepas dari keterlibatan akademisi. Naasnya, Nichols melihat serangan-serangan tersebut tidak berdasar pada ketidaktahuan, melainkan berdasar pada kesombongan dan kemarahan semata akibat budaya narsistik di sana yang semakin menjadi-jadi, yang berujung pada pengkondisian ketidaksetaraan dalam bentuk apa pun.