SEKALI lagi Karim menengok ke belakang. Ditatapnya rumah yang telah ia huni selama puluhan tahun itu dengan perasaan masygul. Rumah tua itu bukan hanya telah melindunginya dari terik panas dan hujan tetapi juga telah menyimpan berbagai kenangan manis dan getir kehidupannya. Rumah itu adalah warisan sekaligus wasiat dari orang tuanya.
Jadi wajarlah jika Karim merasa beragt hati untuk meninggalkan rumah tersebut. Tak terasa pipinya telah basah oleh air mata ketika Karim mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah tersebut untuk selama-lamanya. Dan boleh jadi itu adalah pandangan terakhirnya tentang rumah yang penuh kenangan tersebut.
Sementara di ujung gang anak lelakinya telah menunggu di atas sadel motor siap membawanya ke kampung tetangga dimana anak dan menantunya tinggal. Istrinya sudah terlebih dahulu diungsikan oleh Kadir.
Kadir, anak lelakinya tersebut bukanlah tergolong orang berada. Ia hanyalah seorang petani. Kadangkala juga menjadi tukang kayu. Terutama pada masa-masa tunggu panen atau masa paceklik. Rumah Kadir berada di pinggir kampung berseberangan dengan hamparan sawah dan tegalan warga kampung.
Sudah dapat dibayangkan betapa sunyi dan senyapnya. Tetapi itulah yang dicari oleh Karim. Puluhan tahun ia menikmati kesunyian dan kedamaian. Ia dan beberapa tetangganya sudah terlalu akrab dengan bunyi kodok di malam hari atau suara jengkerik yang berbincang-bincang dengan suara desau angin yang mempermainkan malai-malai padi.
Karim justru tak biasa oleh suara riuh rendah dan kegaduhan. Baginya bunyi alam adalah lantunan dzikir sehingga ia dapat betah tinggal di tengah hamparan sawah dan tegalan warga kampung.
Sebenarnya Karim dan tetangganya sangat senang ketika beberapa petak sawah di seberang rumahnya dibeli oleh orang-orang bersorban dari kota. Apalagi di atas sawah itu dibangun sebuah masjid dan pondok pesantren.
Ia pikir tentu pastilah akan menambah khusuk ibadahnya. Awalnya, lelaki tua itu sungguh sangat girang ketika setiap kali waktu sholat tiba ia sudah duduk di shaff paling depan. Sebab sebelum ada masjid baru tersebut, jika waktu sholat tiba, karim terpaksa harus berjalan lumayan jauh untuk berjamaah. Satu-satunya masjid terdekat kala itu berada di samping rumah Pak Kades yang terletak di tengah kampung.
Namun ternyata kegirangan karim itu tidak berlangsung lama. Kini hampir setiap waktu dari TOA masjid yang baru didirikan tersebut terdengar suara-suara yang memekakkan telinganya.
Suara itu biasanya sudah mulai terdengar sejak dini hari dan baru berhenti setelah jam 11 malam. Kadangkala suara itu berupa lantunan ayat suci Al Quran. Kadangkala suara pengajian, Kadangkala pula suara santri-santri yang tengah menghafal Al Quran atau Hadist. Jika hari Ahad tiba biasanya terdengar suara nasyid atau qasidah. Nasyid atau qasidah itu baru berhenti kalau adzan tiba.
Setelah sholat usai, suara qasidah itupun mulai lagi. Beberapa kali Karim mengeluh karena berisiknya suara-suara itu sungguh tidak ketulungan.
Beberapa kali pula Karim dan tetangganya telah berusaha menyampaikan keluhannya tersebut kepada pengasuh dan takmir masjid. Jawabannya selalu sama.
“Sebagai seorang muslim tentunya bapak tidak perlu merasa terganggu oleh suara lantunan ayat suci yang dipancarkan dari TOA masjid ini. Kalau bapak-bapak semua merasa terganggu berarti ada yang salah dari keimanan bapak-bapak semua,” begitulah jawaban dari pengasuh dan takmir masjid baru tersebut.
Karim merasa ada nada kepongahan dari perkataanya. Lelaki tua itu hanya dapat menggerutu dalam hati menghadapi orang-orang pongah semacam pengasuh pondok yang sekaligus bertugas sebagai imam sholat rutin di masjid baru tersebut.
Terus terang suara berisik itu sangat mudah sekali menerobos dinding rumah Karim. Karena dinding rumah Karim hanya terbuat dari selembar anyaman bambu dan di beberapa tempat memang telah dilapisi oleh papan kayu.
Tetapi apalah artinya papan kayu dibanding suara dari TOA masjid. Saking kerasnya bunyi TOA tersebut, terpaksa Karim dan istrinya harus sedikit berteriak-teriak tatkala mereka berbincang-bincang.
Karena saking kangennya karim pada kesunyian, ia seringkali mengajak istrinya tidur di ladang atau pekuburan kampung yang terletak jauh di luar desa. Awalnya dulu hanya setiap malam Jumat saja. Karena setiap malam Jumat tiba, kegaduhan dari TOA masjid itu semakin menjadi-jadi.
Hampir sepanjang malam terdengar suara gaduh entah suara orang mengaji atau menghafal al Quran. Setiap kali malam Jumat tiba, lelaki tua itu selalu mengajak istrinya untuk menyingkir dari rumahnya menuju tegalan atau pekuburan yang letaknya jauh dari masjid dan pesantren baru tersebut.
Di pekuburan itu ia dan istrinya tidur di dalam sebuah cungkup pekuburan yang telah diplester semen serta diberi atap rumbia sehingga mirip dengan gubugnya. Karena itulah Karim dapat dengan nyaman tidur sepanjang malam.
Ketika ia ditegur oleh juru kunci pekuburan dan warga desa perihal tingkah lakunya yang nyleneh tersebut, Karim biasanya hanya menjawab sekenanya saja.
“Sekedar jaga ladang biar tidak diserbu hama,” ucap Karim ringan ketika Pak Dukuh menanyainya, mengapa ia dan istrinya sering tidur di pekuburan.
Pak Dukuh sebenarnya tahu persis apa yang ada di dalam pikiran Karim, tetapi sebagai yang dituakan di kampung hal itu terpaksa ia harus tanyakan pula agar tidak menimbulkan sakwasangka warga.
Sebab orang-orang mulai merasa khawatir dengan keganjilan tingkah laku Karim dan istrinya tersebut. Terus terang warga mulai diserang rasa cemas, jangan-jangan Karim tengah melakukan ritual ilmu hitam. Padahal bagi Karim, ada kebahagiaan ketika malam Jumat tiba. Karim dan istrinya seperti menunggu-nunggu kedatangan malam jumat tersebut. Selepas ashar biasanya ia sudah berangkat.
Di lengan kanannya biasanya terselip tikar pandan. Sementara itu istrinya menggendong 2 buah rantang berisi nasi lengkap dengan lauk-pauknya, sebuah termos teh, gelas dan sarung atau selimut. Tak lupa karim membawa sebuah teplok, tembakau dan cengkeh kelangenannya. Jika malam terlalu dingin, biasanya Karim mencari ranting-ranting kering yang berserakan di sekitar cungkup pekuburan dan lalu dinyalakannya sehingga mirip api unggun. Tak lupa ia memasukkan beberapa buah ubi jalar ke dalam perapian untuk teman minum teh.
Karim juga membawa radio transistor kesayangannya agar dapat menikmati siaran pagelaran wayang kulit dari stasiun radio ibukota. Di pekuburan itu ia benar-benar menemukan kembali kesunyian sebagaimana hari-harinya tempo dulu. Di pekuburan itu pula ia sama sekali tak terjangkau oleh suara berisik dari TOA masjid di seberang rumahnya yang lebih mirip teroris ketimbang rumah Tuhan yang damai itu.
Kini setelah tiga bulan semenjak pengungsiannya di pekuburan, Karim seperti ketagihan. Ia dan istrinya mengungsi tidak hanya setiap malam Jumat saja, kini boleh dibilang hampir setiap malam Karim dan istrinya mengungsi ke pekuburan.
Dan sebagai akibat polahnya tersebut, Karim dilaporkan ke Pak Kades oleh warga desa. Terus terang warga desa mulai merasa semakin khawatir kalau-kalau Karimg bukan hanya tengah menjalani ritual ilmu sesat. Warga desa kini merasa cemas, jangan-jangan Karim dan istrinya mulai terkena gangguan jiwa atau sekedar kesurupan jin penunggu kuburan.
Ketika Karim dipanggil oleh Pak Kades dan beberapa tokoh agama, Karim ungkapkan kejadian yang sebenarnya. Sungguh di luar dugaan karim jika Pak Kades dan tokoh masyarakat malah memojokkannya.
“Kalau Pak Karim seorang muslim, mestinya tidak terganggu oleh suara-suara dari TOA masjid tersebut. Bukankah itu suara lantunan ayat-ayat Al Quran?” ucap Pak Kades dan beberapa tokoh masyarakat kompak.
“Pak karim mestinya senang dapat mendengarkan kalam Ilahi atau lantunan sholawat yang dibaca setiap saat,” ujar Ustad Sabar sembari mengelus jenggotnya.
“Bacaan-bacaan Quran dan sholawat itu bukankah obat hati Pak? Mengapa Pak Karim malah justru terganggu?” tanya Pak Bin, si petugas polisi yang ditugaskan sebagai Babin Tatib dengan nada bicaranya yang menggelegar sehingga membuat ciut nyali Karim.
“Pak karim harus banyak istigfar. Mungkin saja telinga Pak Karim ada setannya sehingga tidak senang jika ada yang membaca ayat-ayat Al Quran,” sahut Kyai Kusni sambil meremas tasbihnya.
Mulut orang tua itu terlihat berkomat-kamit membaca sesuatu. Mungkin ia tengah membaca doa pengusir setan agar tidak menggangu telinga Karim. Melihat tingkah Kyai Kusni, Karim hanya menggerutu dalam hati.
“Dasar tua bangka dungu tak tahu penderitaan rakyat kecil. Orang terganggu oleh kebisingan kok dikira ketempelan setan. Dasar bajingan tolol!” umpat Karim dongkol.
Sejak dipanggil dan diadili oleh Pak kades serta tokoh masyarakat, karim bukannya mengendurkan pengungsiannya, tetapi justru semakin nekat. Kini ia dan istrinya pergi ke pekuburan bukan hanya di malam hari saja tetapi sudah dapat dikatakan ia kini bertempat tinggal di pekuburan.
Tiga ekor kambingnya juga ia bawa serta di pekuburan bersama dengan beberapa panci dan wajan penggorengan. Ia dan istrinya membuat sejenis gubuk untuk sekedar merebahkan diri. Pak Dukuh yang diminta untuk menghentikan keanehan Karim telah gagal membujuknya. Dalam hati Pak Dukuh sebenarnya sangat kasihan kepada Karim. Menurutnya Karim telah dizalimi. Sebagai akibat dari rasa empatynya tersebut, akhirnya Pak Dukuh juga ditegur oleh Pak Kades. Bahkan ia terkena sanksi karena dianggap tidak dapat menjalankan tugas menjaga ketertiban kampung.
“Pak Kades dan para tokoh masyarakat itu memang sudah pada keblinger!” gerutu Pak Dukuh dalam hati ketika ia juga diadili oleh Pak Kades. Dan akhir dari cerita pembangkangan karim tersebut, ia akhirnya diusir oleh warga desa.
Rumahnya dilempari batu hingga hampir roboh. Dan untuk menghindari kejadian yang lebih runyam, Kadir akhirnya membujuk bapaknya untuk bersedia tinggal di rumahnya saja. Untunglah Karim setuju sehingga lelaki tua itu masih bertemu dengan sepi dan dapat bersendau gurau kembali dengan kodok serta desau angin yang bercerita pada jengkerik atau berbisik kepada malai-malai padi.
Konon kabarnya, angin pernah bertemu dengan malaikat yang tengah bertasbih. Kata angin pula, tasbih malaikat tidak berisik apalagi menteror sebagaimana dzikirnya manusia yang dungu dan tolol itu [Luk].