Sebagai Menteri Pertahanan sekaligus capres 2024 Prabowo Subianto akan melanjutkan program food estate.
BARISAN.CO – Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan telah mengalokasikan Rp108,8 triliun dalam mendukung ketahanan pangan nasional untuk pelaksanaan APBN 2024. Salah satu yang menjadi fokusnya untuk ketahanan pangan adalah pembangunan infrastruktur sedangkan proyek lainnya yakni food estate.
Sementara September lalu, Kementerian Pertanian mengajukan anggaran hingga Rp2,4 triiun untuk membangun food estate dan Penguatan Kawasan Sentra Produksi Pangan pada tahun 2024. Antara 2021-2022, proyek ini menelan anggaran sekitar Rp1,5 triliun.
Saat ini program ini dikembangkan di beberapa daerah, salah satunya di Sumatera Utara.
Komoditas pertanian yang dikembangkan di sana kenyataannya telah dimonopoli oleh sejumlah perusahaan yang berinvestasi, khususnya di Kabupaten Husbang Hasundatan seperti dilansir dari Betahita.
Komoditas itu di antaranya kentang, bawang merah dan bawang putih. Setidaknya, ada tujuh perusahaan raksasa yang berinvestasi di food estate di wilayah tersebut yakni PT Indofood, PT Calbee Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica dan PT Agri Indo Sejahtera dan PT Karya Tani Semesta.
Prof. Posman Sibuea, Guru Besar UNIKA Santo Thomas menyampaikan, petani hanya sebagai buruh untuk perusahaan.
Berdasarkan penelitian dari sejumlah lembaga masyarakat sipil, seperti FIAN Indonesia, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Bitra, Yayasan Petrasa dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumatera Utara, food estate Sumatera Utara khususnya yang berlokasi di Desa Ria-Ria, Kecamatan Polung, Humbang Hasundutan, merupakan kebijakan pembangunan pertanian yang pro pasar, berorientasi mengindustrikan pertanian pangan yang sebelumnya didominasi oleh para petani kecil.
Fuad Abdulgani, Peneliti FIAN Indonesia menyimpulkan, bisa dikatakan bahwa food estate adalah proyek negara, namun kandungannya cenderung mengarah ke corporate-driven business.
Food estate Ria-Ria, kata Fuad, telah mengakibatkan terjadinya perampasan kontrol atas tanah dan terlucutinya otonomi petani terhadap pertaniannya. Petani kecil cenderung menjadi pemasok bahan baku atau bahan mentah bagi korporasi agribisnis, tambahnya, sekaligus pasar bagi industri input pertanian dan juga menjadi tenaga kerja bagi industri pangan.
Fuad menjelaskan, mereka tidak menemukan lembar kontrak yang mengasumsikan dua pihak setara. Melainkan, jelas Fuad, yang ada adalah surat pernyataan yang klausul-klausulnya ditetapkan oleh perusahaan tanpa penjelasan tentang distribusi beban dan keuntungan.
“Serta tidak adanya skema mitigasi risiko yang jelas sebelum kontrak itu disepakati,” terang Fuad menguraikan temuan penelitiannya.
Fuad juga menyoroti soal pasar yang menurut paparannya, seluruh hasil pertanian food estate wajib disetorkan kepada Koperasi Unit Bersama (KUB) yang dibentuk.
“Tetapi harga jual di KUB lebih rendah dari pengepul di pasaran. Harga bawang merah contohnya, untuk kualitas grade super dihargai Rp14.500 per kilogram (kg) sedangkan untuk grade B seharga Rp8 ribu per kg,” jelas Fuad.
Fuad menegaskan, itu jauh lebih rendah dibanding harga di pengepul, yang memberi harga Rp18 ribu per kg bawang merah grade super.