KONDISI persediaan pangan dunia sekarang ini boleh dibilang sedang tidak baik-baik saja. Pasokan pangan dunia secara faktual memang sedang terganggu, sementara permintaan tidak pernah berkurang. Harga beras misalnya sekarang ini makin melambung. Kekhawatiran akan krisis pangan yang meluas pada tahun-tahun mendatang, membuat beberapa negara telah mengamankan persediaan pangannya, termasuk membatasi ekspornya.
Semua orang tahu bahwa pemantik krisis pangan memang bukan soalan produksi semata, tetapi juga kondisi politik regional yang makin memanas (konflik Rusia-Ukraina dan konflik Israel-Palestina), krisis ekologi (global warming), serta gaya hidup masyarakat itu sendiri.
Lain perbincangan tentang pangan di tingkat global, lain pula perbincangan di tingkat rumah tangga. Dalam sebuah perbincangan ringan, seorang kawan yang mengelola bank sampah di kota Bekasi bercerita, bahwa setiap keluarga dalam seharinya dapat membuang makanan rata-rata sebesar 0,5 – 1 Kg.
Jumlah yang tentu saja dapat dibilang cukup besar karena menurut berbagai literatur, seorang manusia dalam sehari hanya membutuhkan makan sebesar 0,45 – 0,5 Kg saja. Itu artinya telah terjadi apa yang oleh sebagian orang disebut dengan menyianyiakan makanan. Padahal makanan yang dibuang tersebut dapat dimakan oleh 1 – 2 orang lain.
Ada semacam gaya hidup boros dalam pola makan kita sehari-hari. Sementara itu, produksi pangan utama Indonesia selama beberapa tahun terakhir cenderung menurun dan tidak mencukupi kebutuhan domestik. Akibatnya, impor cenderung meningkat dan makin bergantung pada pasokan dari negara lain.
Di sisi yang lain kita seringkali mendengar atau membaca berita bahwa ada sebuah keluarga atau komunitas yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pangannya baik pangan secara kuantitas maupun kualitasnya. Kasus stunting yang saat ini sedang marak diperbincangkan misalnya, adalah fenomena yang menggambarkan dimana sebuah keluarga tak dapat memenuhi kualitas dan kuantitas pangannya.
Ada pemborosan makanan di satu sisi dan ada penurunan produksi pangan di sisi yang lain serta ada ketidakmampuan sebagian warga dalam mengakses makanan pada sisi yang lainnya lagi.
Spiritualitas Makan : Menolak Keserakahan Menegakkan kemanusiaan
Bagi kalangan tertentu, isu pangan sepertinya hanya dianggap sebagai permasalahan teknis semata. Agama oleh sebagian orang dianggap tidak memiliki peran apapun dalam permasalahan pangan tersebut. Anggapan yang tentu saja sangat keliru apalagi jika dilihat dalam lingkup ajaran agama Islam. Sebagai manusia yang Berketuhanan, umat Islam tentu saja memahami bahwa makan tidak hanya sekedar aktivitas mencukupi kebutuhan fisik belaka namun jauh di dalamnya terkandung nilai spiritualitas.
Demikian pula dalam ajaran setiap agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Mereka secara lugas mengekspresikan keyakinan tersebut secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sebatas itu saja, sebagian masyarakat juga menganggap ada nilai sacral pada wujud fisik makanan.
Pada umat islam misalnya tak sempurna perayaan hari Raya Idul Fitrinya jika tidak memberikan zakat fitrah yang berupa makanan pokok kepada fakir miskin. Demikian pula dengan agama dan kepercayaan yang lain. Agama selalu mendorong agar dalam setiap aktivitas makan selalu memiliki cantolan kepada spiritualitas yang dalam bentuk konkretnya adalah rasa empaty kepada sesama.