BARISAN.CO – Santri Bajingan mengelar Ngaji Selapanan: Suluk Senen Pahingan Edisi 23 dengan mengusung tema UU Pesantren : Mengatur atau Mengekang? Kritik Rencana Pembahasan Perda Pondok Pesantren.
Bertempat di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, Pedurungan Kota Semarang. Menghadirkan Anggota Pansus Perda Pesantren Denny Septiviant, Fajar Purwoto dari Birokrasi Pemerintah Kota Semarang dan Mukharom yang saat ini menjadi Dosen di Fakultas Hukum Universitas Semarang, Minggu (17/09/2023) malam.
Acara di moderator Santri Bajingan, Syarif Rahmadi. Ia menyampaikan Perda Pondok Pesantren telah saya pelajari jadi demikian saya belajar seperti jadi anggota DPR.
“Tiga hari setelah saya pelajari Perda Pondok Pesantren, bukan hanya belajar membuka undang-undang dasar tetapi juga bagaimana menyusun, merencanakan, membahas kemudian menetapkan sampai pelaksanaan. Dari sini saya mengenal Prolegnas atau Prolegda dan lain sebagainya. Dan ternyata itu luar biasa rumitnya,” terang Syarif.
Anggota Pansus Perda Pesantren, Denny Septiviant mengatakan memang Jawa Tengah saat ini sedang membahas melakukan proses pembahasan dan proses legislasi untuk pembentukan di Jawa Tengah.
“Saya adalah salah satu yang jadi anggota Pansus di situ. Saya perlu Jelaskan di depan apa namanya positioning itu penting pertama, saya berangkat memang kalau namanya Pansus itu kan terdiri banyak fraksi ya terus kemudian saya sendiri di fraksi PKB terdiri dari 23 anggota Pansus,” ujarnya.
Denny Septiviant menjelaskan Undang-Undang Pesantren sendiri berangkat dari mandat yang diberikan oleh PBNU pada waktu itu kepada fraksi PKB di DPR RI untuk membuat satu regulasi yang khusus melakukan pengaturan terhadap Pondok Pesantren.
“Kenapa itu muncul? Karena Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Jangankan kemerdekaan bahkan muncul sebelum lahir NU, Pesantren itu jauh hari sebelum ada negara Indonesia,” terangnya.
Denny menyampaikan sampai saat ini pesantren di Indonesia, berdasarkan catatan di Kementerian Agama di Emis tercatar ada sekitar 35.000 pondok pesantren di Jawa Tengah, ada 9 juta santri yang tercatat dalam sistem database di Kementerian Agama dan ratusan ribu tenaga pendidik.
Hal inilah yang mendorong pentingnya UU Pondok Pesantren, cara pandang negara yang memperlihatkan terjadi proses diskriminasi terhadap pembinaan dari sistem pendidikan formal yang selama ini ada yang kita kenal yang masyarakat umum.
“Sebenarnya lulusan Pesantren itu sebenarnya tidak kalah dengan lulusan sekolah non-pesantren. Namun karena masih dianggap sebagai subkultur seringkali lulusan pesnatren tidak dianggap,” terang Denny.
Sementara itu, Dosen di Fakultas Hukum Universitas Semarang, Mukharom menyatakan apakah aturan tersebut mengatur atau mengekang, sebenarnya dalam konteks ini dua-duanya bisa masuk.
“Dalam konteks mengatur ini bagian dari perjuangan, dari situ ada istilah memberikan fasilitas terbaik. Sebagaimana pendidikan formal melalui UU No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, sedangkan pesantren disebut sebagai lembaga non-formal, karena lembaga non-formal maka perlu ada sebuah aturan yang secara spesialis maka hukum itu ada asas yang disebut dengan Lex specialis derogat legi generali yakni aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum undang-undang,” jelasnya.
Lebih lanjut Mukharom menyampaikan terkait substansi dalam konteks afirmasi di dalam undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang dalam hal ini memang ada sebuah ketentuan yang harus dilakukan oleh pesantren agar apa agar diakui sehingga Pesantren mendapatkan fasilitas dari Negara.
Fajar Purwoto mengatakan Perda ataupun Undang-Undang Pondok Pesantren itu wujud hikmahnya pemerintah dan negara kepada alim ulama.
“Nabi Muhammad tidak mewariskan harta benda atau emas tetapi ilmu,” terangnya. [Luk]