Data Simponi PPA mengungkapkan, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 14.601 kasus.
BARISAN.CO – Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada Senin (20/11/2023) pukul 04.07 WIB tercatat, jumlah korban kekerasan di Indonesia sebanyak 23.932 kasus.
Sementara, dari jumlah tersebut, 2.043 kasus kekerasan terjadi di Jawa Barat, yang membuat provinsi ini berada di urutan pertama dengan jumlah kasus kekerasan terbanyak di Indonesia.
Selanjutnya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mendominasi jumlah kasus dan korban menurut tempat kejadian. Jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga ialah sebesar 14.601 kasus dan korbannya berjumlah 15.676 jiwa.
Namun, angka tersebut masih sangat mungkin bertambah karena masih banyak korban kekerasan khususnya KDRT ragu angkat bicara adalah karena mereka takut dihakimi dan ditekan oleh orang sekitar.
Sering kali muncul mitos terkait kekerasan yang dialami oleh perempuan. Misalnya, laki-laki sering kali mengklaim pasangannya mendorong mereka bertindak demikian. Sehingga, pelaku justru menyalahkan korban.
Sayangnya, masih banyak di antara masyarakat kita yang memandang KDRT adalah ranah pribadi, yang membuat korban semakin enggan bersuara.
Selain itu, banyak juga korban yang memilih bertahan dengan pasangannya yang kasar dengan beberapa alasan seperti diungkapkan Institute for Family Studies.
- Pikiran yang terdistorsi
Dikendalikan dan disakiti menimbulkan trauma, dan ini menyebabkan kebingungan, keraguan, dan bahkan menyalahkan diri sendiri. Pelaku melecehkan dan menuduh korbannya, sehingga membuat mereka lelah dan menyebabkan keputusasaan serta rasa bersalah. Misalnya, perempuan menceritakan: “Saya yakin saya pantas mendapatkannya,” dan, “Saya merasa malu, malu, dan menyalahkan diri sendiri karena saya pikir saya yang memicunya.
- Rusaknya harga diri
Terkait adalah kerusakan pada diri yang merupakan akibat dari perlakuan yang merendahkan martabat. Banyak perempuan yang merasa tertindas dan tidak berharga, mengatakan: “Dia membuatku percaya bahwa aku tidak berharga dan sendirian,” dan, “Aku merasa telah melakukan kesalahan dan aku pantas mendapatkannya.”
- Ketakutan
Ancaman kekerasan baik secara fisik maupun emosional sangat besar, dan para pelaku kekerasan menggunakan hal ini untuk mengendalikan dan membuat perempuan tetap terjebak. Korban perempuan dari kekerasan jauh lebih mungkin mengalami teror dan trauma dibandingkan korban laki-laki. Mencoba meninggalkan pelaku kekerasan itu juga berbahaya.
- Ingin menjadi juru selamat
Banyak yang menggambarkan keinginan untuk membantu, atau mencintai pasangannya dengan harapan dapat mengubah pasangannya: “Saya percaya saya dapat menyukai pelecehan yang dilakukan oleh dia”.
- Anak-anak
Perempuan mengutamakan anak-anak, mengorbankan keselamatan mereka sendiri: “Saya takut jika dia tidak memukuli saya, dia akan memukuli anak-anaknya. Dan saya lebih menghargai hidup mereka daripada hidup saya sendiri”.
- Harapan dan pengalaman keluarga.
Banyak dari mereka yang mengunggah deskripsi tentang bagaimana pengalaman kekerasan di masa lalu mengubah perasaan mereka terhadap diri sendiri atau hubungan yang sehat: “Saya melihat [ayah saya] memukuli ibu saya. Lalu aku menemukan seseorang seperti ayah”.
- Kendala Finansial
Banyak yang merujuk pada keterbatasan finansial, dan hal ini sering dikaitkan dengan merawat anak-anak: “Saya tidak punya keluarga, dua anak kecil, tidak punya uang, dan rasa bersalah karena dia mengalami kerusakan otak akibat kecelakaan mobil”.
- Isolasi
Taktik umum yang dilakukan pasangan manipulatif adalah memisahkan korbannya dari keluarga dan teman. Isolasi bisa bersifat emosional, seperti yang dikatakan kepada seorang perempuan: “Kamu bisa punya teman dan keluarga, atau kamu bisa punya aku”.
Tidak mudah bagi korban bercerita apalagi meninggalkan pelaku. Namun, jika ada banyak orang yang menanggapi cerita korban dengan baik daripada kritik, maka akan lebih banyak korban yang angkat bicara dan menemukan dukungan yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang bebas dari kekerasan. [Yat]