Bagaimana kiprah Wildan S. Niam selama menjalankan bisnis peternakan?
BARISAN.CO – Wildan S. Niam uji coba menjalankan bisnis peternakan sejak tahun 2006. Kala itu, dia menyewa tanah 300 meter yang dibuat full kandang.
Dengan harga Rp600.000/ 4 tahun, Wildan memelihara sekitar 150 kambing. Dia ingat betul, bulan pertama merintis, 40 kambing mati. Hingga menjelang kurban, tinggal 70 ekor untuk dijual.
Dia begitu senang, meski lebih dari setengah ternaknya mati karena masih dapat meraup untung. Bahkan, panen pertama, Wildan bisa membeli tanah. Di tahun kedua, lahan tanah peternanakan semakin luas hingga 2.000 meter.
Pria asal Purbalingga itu mengaku, tidak pernah merasa jenuh. Bahkan, jika ke kandang bisa seharian untuk melihat satu per satu ternaknya.
Menurutnya, memelihara kambing itu mudah, yang susah justru memelihara dengan biaya terukur dengan hasil maksimal.
Wildan menyampaikan, jika rata-rata setiap ekor memerlukan biaya Rp4.500-5.000 itu sangat mahal. Sebenarnya, tidak sampau Rp2.000/ ekor setiap harinya.
Kemudian, rasio per orang bisa mengurusi 200 kambing. Namun apabila Idul Adha , bisa 400 kambing. Dia menuturkan, untuk mengelola usaha peternakan, tidak diperlukan sistem akuntansi yang rumit.
Sejak tahun 2013, Domba Mawar Biru II di Bogor, sepenuhnya dikelola oleh adiknya. Wildan mengembangkan satu peternakan lagi yang lebih besar.
“Keunggulanku dengan para peternak saat itu adalah jaringan komunikasi karena sejak awal, kliennya koorporasi. Jadi, timnya lembaga kurban ACT, Rumah Qurban, Al Azhar Peduli,” kata Wildan kepada Barisanco.
Sistem yang dia jalankan sampai sekarang masih terus dinamis mengikuti perkembangan teknologi.
“Dulu kita belum lazim dengan pengolahan pakan, kemudian kesini-sini tren ada penanaman HMT (Hijauan Makanan Ternak) dan jual makanan ternak. Itu berkembang tergantung sikon dan daya dukung,” tambahnya.
HMT berasal dari hijauan atau rumput-rumputan yang memiliki kecukupan gizi yang tepat. Dia mengatakan, lahan di DKI Jakarta itu sumber pakan ternak yang melimpah rumah dari sampah pasar.
Data Badan Pusat Statistik Jakarta menunjukkan, dari 7,2 ton sampah yang dihasilkan di Jakarta setiap harinya, 3,888 tonnya merupakan limbah organik, yang itu dapat dimanfaatkan. Dari 10 persen limbah tersebut, bisa digunakan untuk pakan bagi ribuan tenak yang bisa dibiayai APBD, katanya.
Akan tetapi, hal itu tidak mungkin karena akan menjadi problem lingkungan apabila memelihara kambing dengan jumlah besar. Lagi pula, tambah Wildan, sesuai regulasi yang ada, hanya lokasi tertentu yang bisa digunakan untuk penampungan dan pemeliharaan ternak.
“Kalau kita bisa ada lahan DKI, pakan ini murah banget. Di sini bisa konsolidasi PPSU atau Dinas Lingkungan hidup untuk mengirimnya.
Tantangan terbesarnya selama menjalani usaha ini adalah keluarga.
“Karena kalau aku sudah di kandang itu bisa satu bulan ga pulang,” lanjutnya.
Dari semua karyawannya, ada yang yang sudah ikut sejak tahun 2013. Wildan menuturkan, untuk bekerja di bidang peternakan, tidak diperlukan kompetensi, namun yang penting diajari.
Waktu anthrax masuk Indonesia, Alhamdulillah, kata Wildan, ternaknya tidak terjangkit. Hal itu dia sampaikan, selama tata kelola kandangnya baik, maka tidak akan terpapar.
Indikasinya yaitu kalau nyaman tidur di satu tempat dengan 4000-an ekor. Wildan menggunakan, pakan yang difermentasi, sehingga lebih mudah dicerna ternak dan kotorannya tidak berbau.
“Kata Beta (kenalannya) ga bau, kataku itu bau duit,” selorohnya. [rif]