HARI ini hari Ayah. Tidak banyak yang merayakannya. Ayah memang tidak sepopuler Ibu yang hari peringatannya pernah dijadikan hari libur.
Tapi tidak bagiku. Aku selalu mengenangnya. Di setiap hari Ayah kesempatan waktu untuk memandangi foto itu. Foto wisudaku beberapa tahun lalu. Foto kami berdua. Aku dan ayah.
Foto itu sengaja ku cetak ukuran 20R. Biar makin jelas aku melihat kerutan di wajahnya dan tulang rahangnya yang menonjol. Oleh kerja kerasnya selama ini.
Juga sengaja ditempelkan di dinding ruang tamu. Biar siapapun yang datang tahu, ayah lah yang memperjuangkan hidupku. Hingga aku seperti sekarang ini.
Ayahku memang istimewa. Karena ayahku adalah ibuku. Sejak Ibu yang tak pernah kukenal wajahnya itu harus kembali kepada Tuhan setelah mengantarkanku ke dunia ini.
Sejak itulah ayahku menjadi ibuku.
Menurut cerita para tetangga, ayahku lah yang menidurkanku, mengganti popokku yang basah kuompolin. Ayah juga yang menyiapkan nasi dicampur pisang waktu aku masih bayi. Juga yang menyusuiku pakai botol yang masih kusimpan sampe sekarang.
Hari ini, tepat sepuluh tahun Ayah menyusul Ibu ke surga. Foto wisuda itu adalah kenangan terakhirku bersamanya.
Setelah proses wisuda yang begitu sakral itu, aku dan Ayah kembali ke kosku. Tanpa aku minta Ayah keluar untuk beli nasi gudeg. Sengaja dibuat istimewa menu makan siang itu. Karena siang itu hari istimewa.
Cukup lama aku menunggu Ayah kembali. Hingga datang seseorang yang mengabarkan Ayah ditabrak mobil dan sudah dibawa ke IGD.
Seluruh kebahagiaan wisuda itu buyar.
Aku bergegas ke rumah sakit. Masih mengenakan yoga, setengah berlari aku menuju ruang IGD. Tapi sayang, aku tak sempat melihat senyum penuh harapan itu. Senyum yang selalu memberiku semangat. Hidup harus lebih baik.
Kulepaskan topi wisudaku. Kutaruh di samping Ayah.
“Ayah, terima kasih atas semua pengorbananmu.”, ujarku dalam hati
” Tuhan, pertemukanlah Ayah dan Ibuku di surga. ” pintaku pada-Nya.
Ada satu kalimat yang tak akan pernah kulupa. Kalimat yang selalu Ayah ucapkan sejak aku masuk sekolah, hingga sesaat sebelum kami memasuki gedung wisuda itu.
“Nduk, pesan Ibumu, kamu harus sekolah yang tinggi.”
Kalimat itu ibarat mantra yang memberiku kekuatan. Untuk terus belajar dan berjuang. Yang membawaku pada prestasi tinggi dan mendapat beasiswa untuk menjadi seseorang sarjana pertanian.
Aku tahu betapa beratnya perjuangan kami berdua untuk sampai di titik itu. Wisuda.
“Nduk, kamu harus sekolah yang tinggi. ” gumamku lirih.
“Ibu ngomong apa? ” suara mungil itu membuyarkan lamunanku.
Aisyah, anakku yang pertama datang mendekat. Dengan toga lengkap. Segera diraih dan ditariknya tanganku.
“Ayo, Bu. Kita berangkat.”
Hari ini Aisyah diwisuda. Dari TK Pertiwi di seberang balai desa itu. Wisudanya di Ayam Geprek Lumayan. Kabarnya juga ada organ tunggal sebagai hiburan.