Kontemplasi

Substansi Agama

Ardi Kafha
×

Substansi Agama

Sebarkan artikel ini
subtansi agama
Ilustrasi foto: Pexels.com/rizknas

BAGI warga Muhammadiyah sangat familiar dengan surah Al-Maun. K.H. Ahmad Dahlan begitu menekankan surah ini.

Surah Al-Maun turun untuk memberi kecaman kepada orang yang tidak memperhatikan kaum lemah, terutama anak yatim.

Perlu dipahami, Al-Quran memang banyak berbicara tentang anak yatim. Ada uraian tentang pemberian bantuan kepada anak yatim, ada pula tentang pembinaan mentalnya. Dan pembinaan ini yang penting, yakni perlunya memberikan kasih sayang dan perhatian mental anak yatim.

Karena apalah artinya, memberikan bantuan materi, tanpa diiringi oleh pembinaan mental, tanpa uluran pendidikannya, dst.

Nah, terkhusus surah Al-Maun, dari segi teks bisa bermakna pada perhatian atau kasih sayang kepada anak yatim. Namun dari sebab turunnya surah ini adalah pada pemberian bantuan materi.

Kita baca asbabun nuzul-nya, kala itu, Abu Sufyan bin Harb menyembelih dua unta setiap minggunya. Suatu ketika ada seorang anak yatim mendatanginya untuk meminta sedikit daging unta, tetapi dia mengusirnya dengan tongkat.

Ara aital-ladzi yukadzdzibu bid-din(i), apakah engkau telah melihat (yakni beritahukanlah kepada-Ku) orang yang mendustakan Hari Pembalasan?” (Al-Maun: 1).

Din” bisa bermakna agama, bisa berarti Hari Pembalasan. Tetapi ini tidak perlu dipertentangkan, toh setiap agama pasti ada konsep keyakinan tentang adanya hari pembalasan. Sekiranya tidak percaya dengan datangnya Hari Pembalasan, sama artinya tidak beragama.

Fadzalikal-ladzi yadu’ul-yatim(a), (jika engkau belum mengetahui), maka (ketahuilah bahwa orang yang mendustakan Hari Pembalasan) itu (adalah) yang mendorong dengan keras (yakni menghardik dan memperlakukan sewenang-wenang) anak yatim.” (Al-Maun: 2).

Nah, yang demikian dinilai telah mendustakan Hari Pembalasan, karena ia berkeyakinan jika ia memberi daging kepada anak yatim, ia tidak akan mendapat balasan. Padahal jelas, jika ia memberi kepada anak yatim, Tuhan-lah yang akan membalas. Tapi ia tidak percaya hal itu bahwa Hari Pembalasan merupakan salah satu substansi agama.

Wa la yahudhdhu ‘ala tha’amil-miskin(i), dan tidak (selalu) menganjurkan (orang lain bahkan diri sendiri untuk) memberi pangan orang miskin.” (Al-Maun: 3).

Kata “menganjurkan”, berarti tak seorang pun tidak bisa tidak untuk melakukannya. Artinya, siapa pun kita, entah kaya atau miskin bisa mengerjakannya.

Fawailul lil-mushallin(a), maka, kecelakaan (besar)-lah bagi orang-orang yang salat.” (Al-Maun: 4).

Prof. Quraish Shihab menjelaskan, dalam Al-Quran, setiap kali ada perintah salat, selalu diawali kata “aqimu”, dirikan.

Menurut beliau “berdiri” itu menunjukkan sikap sempurna. Sebuah sikap melaksanakan segala sesuatu secara sempurna. Seperti misal, saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, para hadirin diminta berdiri, tidak lain untuk menunjukkan sikap sempurna dalam menghargai dan melantunkan lagu itu.

Pun dengan “aqimishshalah”, dirikanlah salat, sempurnakanlah salat. Yakni kita laksanakan sesuai syarat dan rukun-rukunnya. Kita laksanakan dengan khusyu’. Dan kita hayati hakikatnya.

Tetapi dalam ayat ke-4 surah ini, tidak dengan aqimu. Hal ini mengisyaratkan bahwa salat yang dijalankan tidaklah sempurna, tidak khusyu’, tidak pula memperhatikan syarat dan rukun, atau tidak menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.