Berita

Ahli Hidrologi: ‘Indonesia Butuh Lebih Banyak Infrastruktur Radar Pengukur Hujan’

Anatasia Wahyudi
×

Ahli Hidrologi: ‘Indonesia Butuh Lebih Banyak Infrastruktur Radar Pengukur Hujan’

Sebarkan artikel ini
Radar pengukur hujan
Ilustrasi: JPNN/Ricardo.

Untuk mitigasi bencana banjir, Indonesia membutuhkan infrastruktur pengukuran hujan real time menggunakan radar atau satelit yang lebih banyak.

BARISAN.CO – Wilayah Jabodetabek bagian selatan, menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) sudah mulai memasuki masa transisi dari musim kemarau menuju musim hujan. Sebelumnya, BMKG memprediksi 10 persen wilayah Indonesia memasuki musim hujan pada akhir Oktober.

BMKG juga menyediakan data curah hujan. Curah hujan merupakan fenomena alam yang sangat menarik untuk disaksikan. Selain itu, mengukurnya terkadang merupakan upaya yang menantang karena besarnya fluktuasi curah hujan sepanjang waktu dan lokasi. Oleh karena itu, dalam mengukur hujan, tantangan terbesarnya adalah variabilitas.

Ahli hidrologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Yanto Ph.D., mengatakan, pengukuran hujan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Antara lain pengukuran di permukaan bumi menggunakan alat penakar hujan, pengukuran berbasis gelombang radio dan pengukuran menggunakan citra satelit.

“Penakar hujan memiliki kelebihan dalam akurasi karena mengukur langsung jumlah hujan yang jatuh ke bumi. Kekurangannya, perlu penakar hujan dalam jumlah banyak untuk mendapatkan informasi hujan dengan kerapatan spasial yang tinggi,” jelas Yanto.

Di Indonesia, kata Yanto, banyak penakar hujan masih menggunakan cara manual, meskipun penakar hujan otomatis sudah mulai banyak digunakan. Alat Curah Hujan dikenal dengan dengan nama Penakar Hujan Observatorium (OBS) atau Penakar Hujan Manual, sedang di kalangan pertanian dan pengairan biasa disebut ombrometer. Sebuah alat yang digunakan untuk menakar atau mengukur hujan harian.

Penakar hujan otomatis, ungkap Yanto, memiliki kelebihan karena mampu mencatat curah hujan secara otomatis dan dapat mengirimkan data hujan secara real time.

“Pengukuran hujan berbasis gelombang menggunakan teknologi radar, kelebihannya mampu memperkirakan curah hujan dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan dapat mencatat curah hujan secara otomatis dan real time. Kekurangannya, tingkat akurasinya lebih rendah dibandingkan penakar hujan baik manual maupun otomatis,” terang Yanto.

Sedangkan, pengukuran hujan, jelas Yanto, menggunakan satelit mendasarkan pada pengolahan data citra.

“Data hujan satelit memiliki jangkauan yang lebih luas dibandingkan radar. Namun demikian, akurasi data hujan satelit dinilai lebih rendah dibandingkan radar,” ujar Yanto.

Menghadapi tantangan kebutuhan data hujan real time terutama untuk mitigasi bencana banjir, Yanto menekankan, Indonesia membutuhkan infrastruktur pengukuran hujan menggunakan radar atau satelit yang lebih banyak. Sayangnya, teknologi ini butuh biaya yang sangat besar.

“Saat ini beberapa radar sudah digunakan. Data hujan satelit, Indonesia menggunakan data hujan satelit negara lain, salah satu yang digunakan adalah Satelit Himawari milik Jepang,” pungkasnya. [dmr]