Kesehatan

Bersatu untuk Bermartabat, Hilangkan Stigma bagi Penderita Kusta

Anatasia Wahyudi
×

Bersatu untuk Bermartabat, Hilangkan Stigma bagi Penderita Kusta

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Kusta (Sumber foto: www.instazu.com)

Stigma penderita kusta di dunia membuat penyakit ini sulit diberantas. Di Indonesia, beberapa penderita kusta dikeluarkan dari pekerjaan, lamarannya ditolak oleh calon mertuanya, dan bahkan di antara mereka ada yang ditolak memberikan suara dalam Pemilu.

BARISAN.CO – Sejak tahun 1954, Hari Kusta Sedunia dirayakan setiap tanggal 30 Januari. Kala itu, jurnalis sekaligus aktivis Prancis, Raoul Follereau yang mencetuskan perayaan ini. Tujuannya, tak lain, untuk mengadvokasi perlakuan yang sama bagi orang yang mengidap kusta dan mengedukasi kembali masyarakat yang salah paham mengenai penyakit ini.

Di tahun 2022 ini, tema Hari Kusta Sedunia adalah Bersatu untuk Bermartabat. Orang yang mengidap kusta, tak jarang mengalami stigma dan diskriminasi.

Contohnya, Di India yang menjadi negara dengan jumlah kasus baru tertinggi di dunia, masyarakatnya masih fobia akan tertular penyakit itu. Walaupun pengetahuan telah berkembang pesat, orang India menganggap cara mencegah penyebaran dengan menghindari orang terinfeksi.

Kenyataannya, 95 persen orang dewasa memiliki sistem kekebalan bawaan yang mencegah mereka tertular. Dengan kontak fisik seperti berjabatan tangan, seseorang tidak bisa secara otomatis tertular.

Oleh karena itu, amat penting bagi kita untuk menghilangkan stigma hingga ke akar-akarnya dengan mengedukasi kembali masyarakat tentang kusta.

Mengutip New York Times, hukum di India melarang orang dengan kusta bekerja dan bepergian di tempat umum. Bahkan, tak jarang mereka merahasiakan penyakitnya dari keluarganya karena khawatir tetangganya tahu.

Orang-orang dengan kusta tak jarang mengasingkan diri ke koloni kusta. Itu adalah tempat para penderita kusta tinggal, berinteraksi satu sama lain, serta mengemis uang.

Stigma tersebut membuat penyakit ini lebih sulit dideteksi dan dihilangkan. Menurut kepala lembaga nirlaba Lepra, Ashim Chowla, di India, kusta menjangkiti selua kelas sosial.

“Tetapi, karena diskriminasi dan prasangka, kami tidak membicarakannya. Dan, karena kita tidak membicarakannya, kita tidak tahu siapa yang terkena kusta dan siapa yang tidak,” kata Ashim.

Stigma Penderita Kusta di Indonesia

Indonesia menjadi negara ketiga dengan jumlah kasus baru tertinggi di dunia. Di tahun 2020, Indonesia menyumbang 8,7 persen kasus baru di dunia yakni sebanyak 11.173 kasus baru.

Penderita kusta di negara ini pun masih mengalami stigma dan diskriminasi. Seperti yang dilansir CNN, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), beberapa penderita kusta dikeluarkan dari pekerjaan dan lamarannya ditolak oleh calon mertua.

Kemenkes menambahkan, di antara mereka ada yang ditolak memberikan suara dalam Pemilu.

Bukan hanya sulit diberantas, namun juga jika terlambat diobati, kusta dapat menyebabkan komplikasi serius. Diantaranya adalah kerusakan saraf permanen di lengan dan kaki, peradangan pada iris mata (iritis), disfungsi ereksi, gagal ginjal, otot melemah, rambut rontok khususnya pada alis dan bulu mata, tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan, inferlilitas, dan lain sebagainya.

Mari kita melawan bersama mitos yang berkembang tentang penyakit ini agar mereka tidak lagi khawatir dijauhi dan memberanikan diri untuk mengambil pengobatan serta kembali hidup bermartabat. Dan, ingat, kusta bukan kutukan dan bisa disembuhkan. [rif]