Opini

Munafik

Sobirin Malian
×

Munafik

Sebarkan artikel ini
munafik
Sobirin Malian (Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan)

TAHUN 1977, budayawan, sastrawan dan jurnalis Indonesia terkenal, Mochtar Lubis, pernah membuat heboh dengan pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Pasalnya, Mochtar Lubis memberikan banyak gambaran buruk tentang karakter manusia Indonesia pada umumnya.

Dalam pidatonya pada  6 April 1977, Mochtar Lubis mendeskripsikan bahwa ciri utama manusia Indonesia adalah: Munafik. Setelah itu, ada sejumlah ciri menonjol lainnya, seperti: enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. Lebih jauh, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri utama manusia Indonesia sebagai berikut:

“Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah hipokitis alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.”

Munafik yang semula berkonotasi relejius, yaitu orang yang berpura-pura percaya kepada agama (Islam) padahal sesungguhnya dia tidak percaya, saat ini bermakna luas. Munafik adalah orang yang tidak satu kata dalam perbuatan, lain di kata lain di hati. Kemunafikan juga berarti ketidakjujuran karena kepura-puraan sikap dan perbuatan (JS Badudu dan Moh. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1994).

Kalau merujuk kepada hadis Nabi, munafik itu memiliki ciri,  “…ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat (kepercayaan) ia berkhianat).

Kepalsuan (simulacrum) yang dicetus oleh Jean Baudillard (1981), adalah salah satu ciri kemunafikan. Pemalsu adalah orang yang melakukan hal-hal yang palsu yang berarti lancung, tidak sah, tidak berlaku (uang, ijazah, misalnya), bohong, tak bisa dipercaya (janji, sumpah), atau tiruan.

Ibarat hantu, kepalsuan dan kemunafikan ada dimana-mana dan sulit dideteksi dengan indera. Pemalsuan itu, bukan hanya pada uang palsu atau ijazah; tidak hanya ada kemunafikan keagamaan, tetapi munafik munafik politik, munafik ekonomi, sosial dan seterusnya. Pelaku munafik bukan hanya orang awam tetapi juga pejabat, elit politik, hakim, ulama bahkan kepala negara.

Jika dilakukan politisi, mereka biasanya berjanji membawa aspirasi rakyat tetapi kenyataannya meninggalkan rakyat bahkan menindas rakyat dengan cara KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) berarti sumpah palsu. Seorang ekonom yang katanya mengantarkan kepada kesejahteraan tetapi buktinya memperkaya diri dan golongannya pun berjanji palsu.

Tokoh agama (ulama, ustadz) yang menyesatkan umatnya, juga berarti beriman secara palsu. Pengusaha yang katanya ingin membuka lapangan kerja, meningkatkan ekonomi rakyat bahkan liwat berbagai iklan dalam kenyataannya hanyalah berbisnis palsu. Bukan untuk kesejahteraan rakyat tapi untuk dirinya sendiri dan keluarga.

Tangan dan mulut memang bisa berkonsekuensi menjadi madu dan racun. Kebenaran dan ketidakbenaran sama-sama keluar dari mulut. Bicara sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan merupakan ciri munafik. Point of view (cara pandang), politisi, kyai, penulis, pengamat bisa menjadi munafik ketika mereka mendapatkan informasi yang salah dan sengaja menyebarkannya (termasuk para buzzer, influencer). Oleh karena itu, untuk mencegah kesalahan seperti itu diperlukan check and recheck juga balance atau tabayun.