Esai

Subyek Survey Adalah Rakyat

Eko Tunas
×

Subyek Survey Adalah Rakyat

Sebarkan artikel ini
survey rakyat
Ilustrasi: Nasrudin Hoja

MENGAPA Nasrudin Hoja digambarkan naik seekor keledai dengan menghadap ke belakang. Itu adalah gambaran watak Nasrudin yang tidak mau melihat ke depan. Ogah melihat Raja, Menteri, pembesar kerajaan tapi lebih mau melihat rakyat.

Politik kemarin ialah orang yang lazim naik keledai menghadap ke depan. Ke Presiden, Menteri, tokoh-tokoh politik. Tapi politik hari ini tidak lagi begitu. Politik hari ini ialah Nas, manusia, yang tidak lagi melihat pembesar politik sebagai subyek dan rakyat hanyalah obyek.

Nas(rudin) telah melihat ke belakang dari punggung keledainya. Ia mau menjadikan rakyat sebagai subyek. Meski tidak bisa dibilang, penggede politik adalah obyek. Lalu siapakah Nasrudin hari ini, apakah dia juga sufi dari Hoja. Tidaklah. Dunia sudah berganti. Kita telah memasuki era modern serba digital. Nas hari ini adalah: survey.

Bagaimana survey memotret kondisi politik hari ini dengan lensa rakyat. Sebentar, bagaimana dengan lembaganya, lembaga survey. Who’s who. Ya, dialah tukang potret keliling. Kita panggil saja si tukang untuk memotret kita hari ini. Tentu berbayarlah, masa gratisan.

Dalam pemilu di negara demokrasi, rakyat adalah penentu. Penentu siapa terpilih sebagai Presiden. Itu sebabnya dalam kampanye, Paslon menjanjikan banyak hal kepada rakyat, yang intinya guna kesejahteraan rakyat. Meski kerap rakyat kemudian bernyanyi: janji janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi.

Meski begitu rakyat tetap setia dengan kedaulatannya. Tetap mengambil hak pilihnya, dengan narasi: pemilu adalah pesta rakyat. Rakyat dipompa semangatnya untuk merayakan pesta demokrasi. Pergi ke TPS, mencoblos gambar Paslon yang sesuai pilihan hatinya.

Ya, sesuai pilihan hatinya, sebab demokrasi ibarat gambar hati tertusuk panah. Entah apakah ini juga terjadi di negara super power. Yang jelas di negeri emak-emak ini, hati siapa yang menarik hati untuk menjadi sasaran anak panah perasaan hati.

Seperti ucap Ibu saya kala menjatuhkan pilihan hati pada SBY: orangnya gagah dan suaranya terdengar bijak bestari, kalau bicara tangannya seperti mau merangkul. Saat itu satu lembaga survey, memotret SBY akan menang satu putaran dari dua Paslon lain. Dan potret itu terjadi.

Ya, lembaga survey itu memotret dengan lensa rakyat. Lensa hati yang sebutlah, diwakili oleh ibu saya. Bagaimana dengan lensa hati hari ini, menjelang Pilpres 2024. Entah rekayasa atau benar terjadi, ada unggahan menangis massal. Emak-emak yang menangis karena pilihan hatinya diserang dua Paslon di debat Capres.

Saya katakan negeri emak-emak, sebab menurut teori kekuasaan berjenis kelamin lelaki. Dalam pada itu rakyat berjenis kelamin perempuan. Terutama di negeri, di mana demokrasi berjalan seperti naik sepeda (Arief Budiman). Siapakah dia, hei hei Nona Manis…***