Scroll untuk baca artikel
Terkini

7 dari 10 Remaja Menjadi Korban Cyberbullying

Redaksi
×

7 dari 10 Remaja Menjadi Korban Cyberbullying

Sebarkan artikel ini

Pediatric Academic Societies Meeting tahun 2017 menyebut, antara tahun 2008 hingga 2015, jumlah remaja yang mencoba atau memiliki pikiran bunuh diri meningkat dua kali lipat. Mayoritas diantaranya adalah korban cyberbullying.

BARISAN.CO – Media sosial bisa menjadi alat untuk menghancurkan hidup orang lain. Tanpa harus saling kenal, pengguna bisa menyerang siapa pun yang mereka kehendaki.

Penyebab orang melakukan cyberbullying, diantaranya karena dapat membantu mereka mengatasi rasa rendah diri, menyesuaikan diri dengan rekan-rekannya, dan kesulitan berempati dengan orang yang disakiti.

Berdasarkan data Ditchlabel, 7 dari 10 remaja menjadi korban cyberbullying sebelum usia 18 tahun. Sedangkan sebuah penelitian Science Daily menyebut, 70% siswa sekolah mendapati seseorang menyebarkan rumor tentang mereka secara online. Mereka biasanya lebih banyak mengalami cyberbullying di Instagram, Facebook, dan Snapchat.

Pediatric Academic Societies Meeting tahun 2017 menyebut, antara tahun 2008 hingga 2015, jumlah remaja yang mencoba atau memiliki pikiran bunuh diri meningkat dua kali lipat. Kebanyakan, korban cyberbullying.

Statista mengungkapkan, di tahun 2017, sebagian besar perempuan korban cyberbullying mengalami efek negatif pada kesehatan mental dan kesejahterannya secara keseluruhan. Di antara mereka merasa tidak berdaya menanggapi pelecehan, tidak bisa tidur nyenyak, kehilangan rasa percaya diri, dan lain sebagainya.

Remaja Korban Cyberbullying Bunuh Diri

Perundungan online memang tidak bisa diabaikan. Mengutip Daily Mail, pada Februari lalu, seorang gadis remaja berusia 15 tahun meregang nyawanya sendiri setelah dirundung tersebarnya gambar porno palsu dirinya. Matilda ‘Tilly’ Rosewarne ditemukan tewas oleh ayahnya di dekat rumahnya di New South Wales, Australia.

Pelaku perundungan, tak lain adalah teman-teman sekelasnya. Setelah meninggal, para pelaku tak berhenti, menganggap kematian Tilly itu lucu.

Orang tua Tilly, Murray dan Emma Mason memberi tahu teman dan keluarganya bahwa putri mereka memutuskan untuk mengakhiri hidup sebagai akibat dari peristiwa bencana, memotong jiwa Tilly.

“Setiap posting yang Anda tulis, setiap gambar yang dibagikan, setiap kata yang diucapkan memiliki dampak. Kami mohon sebelum Anda memposting, membagikan, ata berbicara, tanyakan pada diri Anda sendiri apakah itu benar? Apakah itu baik? Itu perlu? Jika jawabannya tidak untuk pertanyaan-pertanyaan itu, jangan posting, jangan berbagi, jangan bicara,” tulis Murray dan Emma di buklet pemakaman Tilly.

Orangtuanya mengungkapkan, ketika Tilly berusia delapan tahun, teman sekelasnya mengadakan pemungutan suata dan memutuskan bahwa ayah Tilly yang seharusnya meninggal.

Begitu juga saat Tilly tidak diundang ke pesta ulang tahun teman sekelasnya, mereka akan menghubunginya sepanjang malam untuk menggodanya karena tidak berada di sana.

Emma menyebut, mereka telah mengajukan pengaduan ke polisi, namun sulit mengidentifikasi akun Snapchat dan penyelidikan dibatalkan. Pada saat itu, Tilly juga sedang sangat tidak sehat sehingga menolak wawancara dengan pihak kepolisian lagi.

Orang-orang mengenal Tilly sebagai anak yang suka menari dan melukis, pendebat yang hebat juga, tetapi intimidasi membuatnya mengalami depresi, kecemasan, dan borderline personality disorder.

Sahabat Tilly, Grace mengungkapkan, siswi remaja itu akan mengirim pesan ketika sangat tertekan.

“Berkali-kali Tilly mengirimi saya pesan dan menelepon karena takut orang lain akan menyakitinya. Dia akan sangat sedih dan menangis karena berpikir akan mati dipukuli. Saya hanya berharap dia tidak lagi kesakitan,” ujar Grace.

Tilly hanya satu dari sekian banyak korban perundungan online yang memutuskan mengakhiri hidupnya. Di luar sana masih banyak korban lain yang mengalami penderitaan sepertinya.