Scroll untuk baca artikel
Terkini

Hingga Semester I 2022, Laba Rokok Golongan 1 Belum Pulih

Redaksi
×

Hingga Semester I 2022, Laba Rokok Golongan 1 Belum Pulih

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Sepanjang paruh pertama tahun ini, kinerja emiten rokok masih terseok-seok. Terlihat dari laba bersih PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) sebagai dua emiten rokok terbesar yang masih mengalami penurunan.

Memang, GGRM mencatatkan kenaikan pendapatan 1,82% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 61,67 triliun, tapi laba bersih mereka malah turun 59,37% (yoy) menjadi Rp 956,14 miliar. Pun, sama halnya dengan HMSP, kendati berhasil membukukan pendapatan sebesar Rp 53,5 triliun atau tumbuh 12,34% (yoy), namun laba bersih mereka tergerus 26,39% (yoy) menjadi Rp 3,04 triliun.

Pendapatan yang naik namun laba malah turun sejatinya mengindikasikan adanya beban biaya yang memberatkan sehingga menggerus porsi keuntungan. Itulah tarif cukai hasil tembakau (CHT), kenaikannya menjadi momok masalah bagi perusahaan rokok.

Kenaikan tarif cukai rata-rata 12% per 1 Januari 2022 telah membebani biaya operasional (BOPO) perusahaan. Hal itu semakin memperparah kinerja HMSP dan GGRM yang sejak 2019 lalu sudah menurun performanya..

Dilema Menaikkan Harga

Langkah seperti melakukan pass on kenaikan tarif cukai ke konsumen ternyata juga bukan hal mudah. Harga rokok yang terkerek naik menjadikannya tidak bersahabat dengan isi kantong konsumen.

Secara harga, telah terjadi selisih gap harga jual yang berjarak besar antara rokok golongan 1 dengan rokok golongan dibawahnya. Akibatnya, banyak konsumen rokok golongan 1 yang kemudian beralih ke rokok yang lebih murah (downtrading). Maklum, kondisi pandemi telah melemahkan daya beli masyarakat sehingga mempercepat proses peralihan itu.

Pasalnya, selain soal selera, harga yang terjangkau kini lebih mempengaruhi preferensi konsumen dalam membeli rokok. Dalam situasi melawan tren downtrading, menaikkan harga adalah keputusan yang keliru, apalagi produk-produk rokok baru terus bermunculan.

Maka itu, mau tidak mau, perusahaan rokok harus rela untuk memangkas porsi laba yang didapat untuk tidak mengkatrol harga terlalu tinggi.

Di sisi lain, naiknya harga rokok ternyata turut menyuburkan peredaran rokok ilegal, sebab permintaan masyarakat meningkat. Lalu, sebagian yang lain, ada yang memilih untuk mengurangi konsumsi rokok dan beralih mengonsumsi vape.

Inovasi

Tak ketinggalan, HMSP juga tengah mengembangkan IQOS (I Stop Original Smoking), semacam alat mirip rokok yang memanaskan tembakau inovatif sehingga rokok bebas asap. 

Mengutip Kontan (01/08/2022), anggota IQOS Club per 2021 sudah lebih dari 65 ribu orang, naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya yang anggotanya masih 30 ribu orang. HMSP rela merogoh kocek hingga US$ 166,1 juta untuk berinvestasi pada pembangunan pabrik IQOS. Rencananya, pembangunan pabrik tersebut baru akan selesai pada kuartal IV 2022.

Selain itu, sejumlah perusahaan rokok juga melakukan diversifikasi bisnis. Sebut saja Grup Djarum, perusahaan rokok asal Kudus milik orang terkaya di Indonesia ini merambah ke berbagai bidang bisnis, seperti perbankan, e-commerce, menara telekomunikasi, dan lainnya.

Pun, sama dengan GGRM yang juga ikut berekspansi ke sektor infrastruktur, perkebunan sawit, pengolahan kertas, dan lainnya. [rif]