Scroll untuk baca artikel
Kolom

Koperasi Merah Putih: Antara Semangat Konstitusi dan Ancaman Sentralisasi Baru

×

Koperasi Merah Putih: Antara Semangat Konstitusi dan Ancaman Sentralisasi Baru

Sebarkan artikel ini
koperasi merah putih
Ilustrasi

Koperasi Merah Putih dibentuk dengan pendekatan sentralistik yang bertentangan dengan semangat kemandirian koperasi sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.

KOPERASI telah lama dianggap sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan di Indonesia. Hal ini bukan tanpa dasar, karena amanat konstitusi dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Dalam konteks ini, koperasi menjadi salah satu bentuk ideal dari demokrasi ekonomi. Namun, implementasi dari semangat tersebut tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip idealnya.

Salah satu contoh yang mengemuka adalah pembentukan Koperasi Merah Putih (KMP) atau juga disebut Kopdes Merah Putih, yang belakangan menimbulkan banyak pertanyaan, baik dari sisi hukum, ekonomi, tata kelola, hingga potensi dampaknya terhadap struktur sosial budaya masyarakat Indonesia.

Secara normatif, kehadiran KMP mungkin dimaknai sebagai upaya memperkuat basis ekonomi kerakyatan. Target ambisius pembentukan 80.000 koperasi dengan capaian 72.600 koperasi hingga pertengahan 2025 menunjukkan betapa seriusnya program ini didorong pemerintah.

Namun, semangat besar ini tidak serta-merta menjadikan program ini bebas dari kritik. Sebaliknya, berbagai catatan kritis justru menunjukkan bahwa pendirian KMP cenderung bersifat top-down, jauh dari semangat kemandirian dan partisipasi masyarakat lokal yang seharusnya menjadi jiwa dari koperasi itu sendiri.

Penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2025 sebagai dasar hukum KMP menuai kontroversi.

Koperasi sebagai entitas ekonomi dan sosial yang seharusnya tumbuh dari bawah, justru dilahirkan melalui pendekatan negara yang top-down dan sentralistik.

Ini bukan hanya berpotensi mencederai prinsip demokrasi ekonomi, tetapi juga menyimpan risiko kebingungan hukum karena bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 yang menekankan asas kemandirian dan otonomi koperasi.

Pendekatan semacam ini mengingatkan kita pada pengalaman masa lalu dengan Koperasi Unit Desa (KUD) yang lebih banyak menjadi instrumen politik dan proyek pemerintah ketimbang lembaga ekonomi rakyat.

Yang lebih memprihatinkan, sumber pendanaan KMP sebagian berasal dari dana desa dan APBDes. Ini berisiko sangat tinggi, karena pengelolaan dana publik untuk koperasi yang belum memiliki sistem good governance berpotensi menimbulkan pemborosan, penyalahgunaan, atau bahkan konflik horizontal di masyarakat.

Alih-alih memperkuat ekonomi lokal, koperasi jenis ini bisa menjadi beban baru yang menambah kerentanan sosial dan ekonomi desa.

Dari sudut pandang makroekonomi, pendirian KMP juga tak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi nasional yang sedang tidak stabil: pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) melambat, inflasi meningkat, dan nilai tukar rupiah fluktuatif.