Kartun bukan sekadar gambar lucu, ia menyimpan jejak sejarah, kritik sosial, dan cermin kebudayaan bangsa. Kini, gagasan besar untuk mendirikan Museum Kartun Indonesia mulai menemukan momentum nyata di Semarang.
BARISAN.CO – Gagasan pendirian Museum Kartun Indonesia semakin menguat setelah menjadi salah satu fokus pembahasan utama dalam ajang Semarang Cartoonfest 2025 dan Musyawarah Besar (Mubes) Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti) di Gedung Oudetrap, Kota Lama Semarang, Sabtu–Minggu (18–19 Oktober 2025).
Kegiatan yang diikuti 141 kartunis dari 25 negara ini memamerkan karya dengan tiga tema besar: Museum Kartun Indonesia, Semarang di Mata Kartunis, dan Kartun sebagai Artefak Budaya.
Selain pameran internasional, event ini juga diisi dengan Focus Group Discussion (FGD) tentang arah dan model kelembagaan Museum Kartun Indonesia, serta kegiatan kreatif Ngartun Bareng “Kresem Art Street” yang mengajak publik berinteraksi langsung dengan para kartunis di ruang terbuka.
Langkah ini menjadi momentum penting menuju pendirian wadah dokumentasi dan apresiasi yang mampu merawat jejak sejarah kartun nasional, sekaligus memperkuat posisi Semarang sebagai kota kreatif di bidang seni visual.
Koesnan Hoesie, kartunis senior yang telah malang melintang di dunia kartun, mengaku terkesan dengan semangat anak-anak muda dalam memperjuangkan gagasan Museum Kartun Indonesia.
“Saya melihat anak-anak muda bergerak sebegitunya, saya tidak mungkin menolak,” ujarnya.
Meski demikian, ia menekankan bahwa pengelolaan museum bukan perkara mudah.
“Untuk pengelolaan itu harus dan butuh anggaran yang besar. Juga teman-teman yang cari founding,” jelasnya.
Koesnan menambahkan, museum yang hidup harus memiliki strategi program yang dinamis. Ia menyoroti tantangan utama museum di Indonesia yang sering sepi pengunjung karena tidak ada inovasi.
“Katanya, tantangannya itu museum itu tidak ada pengunjungnya, beda dengan di luar negeri. Ketika saya berkunjung ke museum di sana, itu ramai. Karena mereka mendatangkan tamu, bikin event-event, dan merolling materi. Di Indonesia itu jarang, apalagi kalau pengelolaannya dipegang pemerintah,” ungkapnya.
Ia menilai, justru museum pribadi di Indonesia banyak yang lebih hidup dan kreatif.
“Kalau dikelola pemerintah, saya agak pesimis. Tapi kalau komunitas bisa menggerakkan dan menggandeng swasta, saya optimistis,” tambahnya.
Sementara itu, Kartunis senior sekaligus master kartun dunia, Jitet Koestana, menyebut gagasan pendirian Museum Kartun Indonesia sebagai langkah vital dalam sejarah seni rupa Indonesia modern.
Menurutnya, museum bukan sekadar bangunan penyimpan karya, tetapi juga rumah yang memberi kehidupan bagi generasi kartunis berikutnya.
“Museum kartun itu baik karena itu rumah. Artinya, Indonesia kalau tidak ada rumah, jadi gelandangan. Kalau ada museum kartun, itu punya rumah untuk menghidupi anak-anaknya, untuk mendidik anaknya supaya mandiri,” ujar Jitet Koestana di sela kegiatan.