Scroll untuk baca artikel
Kolom

Energi dari PLTU Cilacap, mengapa tak ke Dusun Bondan? Perjuangan Warga Dusun Bondan Menerangi Hidup di Tengah Ketimpangan Energi

Redaksi
×

Energi dari PLTU Cilacap, mengapa tak ke Dusun Bondan? Perjuangan Warga Dusun Bondan Menerangi Hidup di Tengah Ketimpangan Energi

Sebarkan artikel ini
Energi dari PLTU Cilacap

Sumber energi dari matahari dan angin yang kini menerangi kehidupan warga Dusun Bondan. Di tengah ketimpangan akses listrik akibat dominasi PLTU, cahaya dari panel surya ini menjadi simbol kemandirian dan harapan warga pesisir (Ningrum Habibah)

Oleh Ningrum Habibah

Dusun Bondan, Kampung Laut, Cilacap — Hingga awal 2017, malam di Dusun Bondan hanyalah bayang-bayang pekat tanpa cahaya. Dusun kecil yang terletak di pesisir selatan Kabupaten Cilacap ini seolah terputus dari dunia modern.

Tak ada tiang listrik yang berdiri, tak terdengar dengung kipas, atau pancaran cahaya dari layar televisi. Yang ada hanyalah lampu minyak seadanya dan sunyi yang menggantung panjang.

Bagi mereka yang sedikit lebih mampu, genset menjadi jalan keluar. Namun, tak semua bisa menanggung ongkosnya.

“Pakai genset, tetapi kalau pakai terus bisa habis uang cuma buat beli bensin,” ujar Jamal, warga setempat yang kini menjadi pengelola pembangkit listrik desa.

Genset memang bisa menerangi rumah, sebentar. Setelah itu, gelap kembali menelan segala aktivitas. Anak-anak belajar seadanya, ibu-ibu memasak terburu-buru sebelum matahari terbenam, dan warga hanya bisa pasrah menunggu pagi.

Namun, semua berubah, berawal dari sebuah karya ilmiah. Seorang peserta lomba menulis ilmiah yang diadakan oleh Pertamina mengangkat kisah keterpencilan dan gelapnya kehidupan di Dusun Bondan.

Tanpa diduga, tulisan itu menyentuh hati banyak orang, termasuk Pertamina yang kemudian mengirim tim untuk melihat langsung kondisi dusun.

Melihat potensi alam dan semangat warga yang besar, Pertamina memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Hibrida (PLTH), gabungan antara tenaga matahari dan angin. Bantuan senilai Rp1,2 miliar dikucurkan.

Dalam beberapa bulan, enam panel surya besar dan empat kincir angin berdiri di atas lahan milik warga, menghadap ke laut lepas dan rawa yang mengelilingi dusun.

Untuk pertama kalinya, Dusun Bondan terang di malam hari. Cahaya mulai muncul di dusun yang awalnya gelap. Itu semua bersamaan dengan senyum cerah dari warga yang ada di sana.

Namun, terang yang datang bukan berarti semua masalah sirna. Setiap rumah hanya mendapat jatah 500 watt, cukup untuk lampu, mengisi daya ponsel, atau menyalakan kipas kecil. Namun, kalau ingin memasak dengan rice cooker, warga harus memilih: masak atau menonton TV, bukan keduanya.

“Kalau mau masak pakai magicom, ya tidak bisa bareng nonton TV atau nyetrika,” ujar Jamal sambil tertawa kecil. “Harus gantian.”

Keterbatasan ini bukan karena sinar matahari kurang, justru sebaliknya, energi alam di Bondan melimpah. Namun, sistem penyimpanan listriknya masih minim.

Baterai sebagai tempat penampungan daya berharga mahal, bisa mencapai lima juta rupiah per unit, harga yang berat bagi warga dengan penghasilan yang ada.