Opini

Anak Berhak Memilih, Orang Tua Perlu Mendukungnya

Anatasia Wahyudi
×

Anak Berhak Memilih, Orang Tua Perlu Mendukungnya

Sebarkan artikel ini

Anak berhak memutuskan masa depannya.

BEBERAPA bulan sebelum lulus-lulusan, saya berdikusi dengan anak. Saya tanya kemana ia akan melanjutkan pendidikannya, apakah SMP atau pesantren. Awalnya, dia mengatakan, ingin di pesantren. Namun, saya memintanya agar masih di sekitar Jawa Barat demi kemudahan ketika liburan sekolah.

Tak lama kemudian, dia berubah pikiran. Dia memutuskan untuk masuk SMP. Saya tak keberatan sama sekali karena ini hidupnya dan dia yang akan menjalani pendidikan ini selama tiga tahun ke depan.

Bukan hanya pendidikan, sepatu dan tasnya pun, dia yang memilih. Saya tak ingin mengintervensi karena dia yang lebih tahu apa yang dia butuhkan. Pikiran saya sederhana, jika itu tidak melanggar aturan, saya persilakan.

Namun, banyak orang tua yang kemudian berbangga setelah “memaksa” anaknya mengikuti keinginan mereka. Umumnya, orang tua menganggap itu adalah bentuk kepatuhan yang sudah seharusnya anak lakukan.

Jika melihat kembali Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Anak pasal 12 tertulis: Tiap anak berhak mengemukaan pendapat dan didengar dan dipertimbangkan pendapatnya saat pengambilan suatu keputusan yang akan memengaruhi kehidupannya atau kehidupan anak lain. Meski begitu jelas, pasal ini kemudian banyak diabaikan orang tua.

Saat anak menolak, tak jarang orang tua menyampaikan, itu demi kebaikan mereka. Padahal, sebagai orang tua harus menghormati keinginan anak dan sebisa mungkin mempertimbangkannya ketimbang langsung berkata, “Kami tahu yang terbaik untuk kamu. Nurut ajalah.”

Sebagai orang dewasa, saya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup anak-anak begitu terkekang. Bahkan, ada juga anak yang terus-menerus harus belajar karena orang tuanya tak tak membiarkannya bermain. Lagi pula, dunia anak-anak memang bermain. Parahnya, orang tua mengungkit pemberiannya, yang itu bisa menyakiti perasaan anak.

Biasanya ini terjadi karena lingkaran setan bernama pengasuhan. Saat orang tua ini masih anak, dia diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya, dan setelah memiliki anak, dia membalaskan cara pengasuhan yang sama kepada anaknya.

Saat anak merasa kehilangan haknya, mereka kemungkinan akan enggan menyampaikan pendapatnya. Sebab, mereka merasa orangtuanya telah menyiapkan jalan hidupnya dan sia-sia untuk menyuarakannya. Dikhawatirkan, saat sudah besar, anak-anak tidak berani mengambil keputusan di masa mendatang.

Memang semua orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi bukan berarti, anak tak berhak memilih apa yang menurutnya akan memengaruhi kehidupannya. Jadi orang tua bukan hal mudah, oleh karenanya, kita harus terus belajar banyak terutama mengenai hak anak ini. [Yat]