“Polri dibebani untuk menambah penerimaan negara bukan pajaknya cukup signifikan. Ini berpotensi membuat masyarakat semakin terbebani dalam aktivitas sehari-hari,” ungkapnya.
Dari sisi belanja, kenaikan terbesar justru terjadi pada pos transfer ke daerah, yang naik sekitar Rp43 triliun menjadi Rp693 triliun.
Namun, menurut Awalil, jumlah tersebut masih jauh di bawah realisasi 2025 yang diperkirakan mencapai Rp864 triliun.
“Ini menunjukkan adanya arah pengurangan otonomi daerah dari sisi keuangan,” katanya.
Ia juga menyoroti besarnya alokasi untuk pos “belanja lainnya” dalam APBN, yang menurutnya memberi keleluasaan terlalu besar kepada pemerintah.
Pos tersebut kerap menjadi sumber penambahan anggaran mendadak untuk kementerian tertentu, seperti Kementerian Pertahanan, tanpa transparansi memadai.
Dengan postur defisit yang makin melebar, penerbitan utang yang besar, serta keseimbangan primer yang kembali negatif, Awalil menyimpulkan bahwa APBN 2026 kurang pruden dan berpotensi menimbulkan risiko fiskal lebih berat di tahun-tahun berikutnya.
“Kesepakatan antara pemerintah dan DPR ini pada dasarnya membiayai utang dengan utang baru. APBN 2026 bukanlah APBN yang sehat, dan justru bisa menambah kerentanan ekonomi kita ke depan,” pungkas Awalil. []
Video Selengkapnya:







