Terkini

Belanja Tembakau Dianggap sebagai Pengeluaran Mubazir

Anatasia Wahyudi
×

Belanja Tembakau Dianggap sebagai Pengeluaran Mubazir

Sebarkan artikel ini
Vid Adrison, Ph.D.

Belanja tembakau dapat dipandang sebagai pengeluaran yang mubazir karena konsumsi rokok dapat berdampak pada kemiskinan.

BARISAN.CO – Dalam rumah tangga, belanja tembakau berpengaruh pada belanja komoditas lain. Khususnya, jika rumah tangga itu masuk ke dalam rumah tangga miskin dan hampir miskin.

I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D., peneliti Lembaga Demografi FEB UI menjelaskan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan hal itu terjadi.

Menurutnya, faktor pertama yaitu apabila penghasilan atau pendapatan di dalam rumah tangga itu cenderung tetap, ketika konsumsi atau belanja tembakau naik, maka akan berimplikasi pada alokasi belanja yang lain berkurang.

“Semakin besar pengeluaran rokok, maka semakin kecil atau berkurang alokasi lainnya,” katanya dalam diskusi publik dan Peluncuran Hasil Riset, ‘Ilusi Kemiskinan dan Pengalihan Belanja Rumah Tangga karena Konsumsi Rokok’ pada Selasa (30/8/2022).

Faktor selanjutnya, mayoritas kepala rumah tangga adalah laki-laki, kebanyakan mereka perokok. Dalam paparannya, Dewa menyebut, mereka memiliki kewenangan dan kuasa lebih untuk mengalokasikan belanja-belanjanya termasuk rokok.

“Jadi mereka punya kekuatan untuk memprioritaskan belanja konsumsi rokoknya baru yang lain dialokasikan terakhir,” lanjutnya.

Terakhir, dia menjelaskan, sementara, rokok itu bersifat adiktif, secara sistematis menyebabkan rumah tangga mengalokasikan konsumsi lebih banyak untuk rokok dan mengurangi konsumsi pengeluaran lainnya.

Sedangkan, Vid Adrison, Ph.D., selaku peneliti senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI menuturkan, belanja tembakau dapat dipandang sebagai pengeluaran yang mubazir karena konsumsi rokok dapat berdampak pada kemiskinan.

“Kemiskinan di Indonesia itu dihitung berdasarkan kebutuhan dasar, yaitu makanan dan non makanan. Standarnya untuk pemenuhan 2.100 kalori ada 52 komoditas, tapi ada konsumsi tembakau di sana,” jelas Vid.

Dia menyampaikan, hal itu aneh karena rokok tidak memberikan kalori, namun di sisi lain masuk kebutuhan dasar makanan.

“Jadi, yang 51 komoditas itu mengandung kalori, yang satu, rokok itu tidak ada. Faktanya, rokok tidak menghasilkan kalori, tapi masuk dalam garis kemiskinan yang makanan,” ungkapnya.

Dia menambahkan, rokok tidak berkontribusi pada pemenuhan gizi dan kalori, namun masyarakat atau rumah tangga miskin hampir tidak bisa mencukupi kebutuhan dasar, maka ada kemungkinan alokasi itu teralokasikan ke rokok dan mengurangi konsumsi lain.

“Ada risiko peningkatan biaya kesehatan akibat merokok. Ada spending untuk tobacco dan implikasi terhadap biaya kesehatan akibat konsumsi rokok, akibatnya pemenuhan 2.100 kalori itu bisa terdampak,” lanjutnya.

Vid menegaskan, kalau kemiskinan berangkat dari 2.100 kalori, maka harus diperhitungkan spending untuk tobacco dan tobacco related diseases.

“Kalau dilihat dari berbagai kelompok masyarakat, elompok miskin dan hampir miskin antara 9-10 persen dari spending untuk tembakau. Sudah mepet, tapi 10 persen dialokasikan untuk tembakau,” tegasnya.

Vid menyimpulkan, untuk orang miskin sangat mungkin kecukupan gizinya tidak terpenuhi. Dalam materi yang dia sampaikan juga tampak jelas bahwa belanja tembakau justru 5x lebih besar dari daging atau 7x lebih besar dari belanja telur untuk masyarakat miskin. [rif]