Namun, tantangan muncul dari pergeseran perilaku konsumen. Data menunjukkan fenomena downtrading, yakni peralihan ke rokok yang lebih murah.
Pangsa pasar Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I yang harganya mahal turun drastis dari 63% (2015-2018) menjadi hanya 30% pada Juni 2025. Sebaliknya, konsumsi Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang lebih murah meningkat.
Roosita menilai fenomena ini wajar, namun tetap harus dijawab dengan kebijakan tarif yang proporsional.
“Jika cukai hanya naik sebagian, konsumen akan mencari celah dengan beralih ke produk lebih murah. Jadi kenaikan harus menyeluruh, agar dampaknya merata,” ujarnya.
Industri rokok kerap menyuarakan kekhawatiran kehilangan tenaga kerja akibat kebijakan cukai. Namun, data menunjukkan pekerja di sektor ini hanya 0,5% dari total tenaga kerja nasional.
Sementara itu, potensi munculnya rokok ilegal bisa ditekan dengan pengawasan ketat. Pemerintah didorong untuk memperkuat penegakan hukum dan menggunakan teknologi pelacakan, seperti digital stamps, agar distribusi rokok lebih mudah dikontrol.
“Risiko rokok ilegal harus dijawab dengan inovasi, bukan dengan menahan kenaikan cukai. Pemerintah perlu tegas dan konsisten,” kata Roosita.
Pada usia kemerdekaan yang ke-80, Indonesia dihadapkan pada pilihan untuk melindungi rakyat dengan kebijakan progresif. Kenaikan cukai rokok disebut bukan semata urusan fiskal, melainkan bentuk patriotisme baru.
“Nasionalisme di era sekarang adalah memastikan rakyat sehat dan negara kuat secara fiskal. Merdeka berarti bebas dari adiksi, sehat untuk berkarya, dan mandiri secara fiskal,” pungkas Roosita.
Dengan demikian, kenaikan cukai rokok di 2025 dipandang sebagai momentum penting untuk memperkuat kesehatan masyarakat dan ketahanan fiskal negara. []