Scroll untuk baca artikel
Berita

Cukai Rokok 2026 Batal Naik, Menteri Purbaya Dihujani Papan Bunga Protes

×

Cukai Rokok 2026 Batal Naik, Menteri Purbaya Dihujani Papan Bunga Protes

Sebarkan artikel ini
Cukai Rokok 2026 Batal Naik
Karangan bunga untuk menteri Keuangan

Pembatalan kenaikan cukai rokok 2026 oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menuai protes luas dari pemuda dan masyarakat sipil.

BARISAN.CO – Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk membatalkan kenaikan cukai rokok tahun 2026 memicu gelombang protes. Sejak pagi, halaman Kementerian Keuangan dipenuhi papan bunga bertuliskan kritik pedas yang dikirim oleh Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama jaringan pemuda dari berbagai organisasi. Purbaya pun mendapat julukan “Menteri Koboi” dalam aksi simbolis tersebut.

Tak hanya pemuda, kelompok masyarakat sipil ikut menyuarakan penolakan. Organisasi perempuan terdampak rokok, Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI), serta jaringan masyarakat sipil yang selama ini mendorong regulasi pengendalian rokok, turut mengirim papan bunga sebagai tanda kekecewaan. Aksi ini menegaskan bahwa keberatan atas keputusan tersebut datang dari beragam lapisan publik.

“Koboi boleh saja, tapi jangan koboi dengan industri rokok. Seharusnya tetap tegas menjaga tarif cukai tinggi, bukan justru membatalkan,” kata Manik Marganamahendra, Ketua Umum IYCTC, Selasa (30/09/2025)

Ia menegaskan, istilah “koboi” dipakai secara figuratif untuk menggambarkan ketegasan seorang pemimpin, namun bukan berarti sikap yang sembrono.

Manik juga mempertanyakan mengapa suara industri lebih diprioritaskan ketimbang suara masyarakat. Ia menyinggung fakta hampir 6 juta anak di Indonesia menjadi perokok aktif karena harga rokok yang murah, serta meningkatnya penggunaan rokok elektronik di kalangan remaja.

Menurutnya, tarif cukai tinggi bisa menjadi instrumen penting untuk melindungi generasi muda dari kecanduan.

Lebih jauh, Manik memaparkan bahwa kerugian akibat rokok bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga ekonomi.

BPJS Kesehatan mencatat beban hingga Rp15,6 triliun untuk membiayai penyakit akibat rokok pada 2019, sementara keluarga miskin menghabiskan rata-rata 12% pendapatan untuk membeli rokok ketimbang kebutuhan primer. WHO sendiri merekomendasikan harga rokok minimal 70% lebih mahal melalui kebijakan cukai.

IYCTC juga menyoroti alasan pemerintah terkait potensi PHK jika cukai dinaikkan.

“Itu narasi klasik industri. Studi menunjukkan justru tenaga kerja di subsektor manufaktur tembakau stagnan atau menurun karena otomatisasi, bukan karena tarif cukai,” ujar Manik.

Pandangan serupa datang dari Daniel Beltsazar Jacob, Advocacy Lead IYCTC. Menurutnya, kekhawatiran soal rokok ilegal tidak relevan sebagai alasan menunda kebijakan.

“Masalah rokok ilegal lebih banyak disebabkan lemahnya penegakan hukum dan rantai pasok gelap. Solusinya adalah memperkuat track and tracing, serta mengalokasikan DBHCHT untuk operasi penertiban,” jelasnya.