Scroll untuk baca artikel
Kolom

Deforestrasi Masif dan Regulasi yang Permisif

Redaksi
×

Deforestrasi Masif dan Regulasi yang Permisif

Sebarkan artikel ini
Deforestrasi Masif dan Regulasi yang Permisif
Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan/Direktur The Sawerigading Institute)

Banyak tragedi ekologis yang pada akhirnya bermuara pada satu hal. Bahwa hutan yang seharusnya menjadi “penyangga alam” perlahan hilang tanpa digantikan secara memadai.

Salah satu yang terbaru adalah bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sumatera. Kerugian jiwa dimana lebih dari 700 orang meninggal dunia dan masih terus bertambah, kerugian materiil yang tak terhitung dan sebagainya, seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga bagi semua stakeholder di negeri ini.

Kembalikan Kewajiban Land-to-Land

‎Seluruh persoalan ini tidak berarti bahwa pembangunan harus dihentikan. Pembangunan tetap penting, tetapi harus ditegakkan di atas prinsip keadilan ekologis.

‎Jika hutan harus digunakan untuk kepentingan publik, maka kompensasinya harus dikembalikan pada esensi aslinya, yakni menyediakan ruang pemulihan yang minimal sebanding atau dua kali lipat dengan fungsi hutan yang hilang.

‎Evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan kompensasi IPPKH menjadi keharusan. Pemerintah perlu mengembalikan kewajiban lahan pengganti sebagai mekanisme utama, bukan sekadar alternatif.

‎ Jika PNBP tetap dipertahankan, maka harus ada pengamanan yang memastikan dana tersebut benar-benar dipakai untuk restorasi ekosistem, bukan menjadi pemasukan umum.

‎Selain itu, penggunaan indikator tutupan hutan provinsi harus diganti dengan pendekatan ekologis berbasis ekoregion, nilai konservasi, dan fungsi lanskap.

‎Monitoring berbasis satelit dan audit independen wajib diperkuat untuk memastikan bahwa kompensasi tidak berhenti sebagai laporan, tetapi menjadi proses nyata di lapangan.

‎Pelibatan masyarakat lokal dan integrasi dengan perhutanan sosial juga menjadi kunci agar pemulihan tidak hanya ekologis, tetapi juga sosial.

Segera Berbenah, Meski Terlat

‎Kerusakan hutan yang sudah terjadi memang sulit diperbaiki sepenuhnya. Namun kita masih memiliki kesempatan untuk mencegah kerusakan berikutnya.

‎Pembenahan kebijakan kompensasi IPPKH adalah salah satu cara paling strategis untuk menghentikan laju deforestasi yang tidak perlu.

‎Negara tidak boleh menukar hutan yang bernilai ekologis tinggi dengan uang yang nilainya tidak pernah mampu menggantikan ekosistem yang hilang,  sebanyak apapun yang itu.

‎Evaluasi kebijakan ini bukan hanya sebuah pilihan administratif, tetapi merupakan keputusan moral dan kewajiban ekologis yang menentukan keberlanjutan bangsa besar ini.

‎Jika kita gagal memperbaikinya, generasi mendatang akan mewarisi konsekuensi yang jauh lebih berat daripada biaya yang ingin dihemat oleh pelaku usaha hari ini. Dan sepertinya, konsekuensi-konsekuensi akibat deforestasi yang masif tanpa kompensasi lahan pengganti itu sudah mulai sering kita rasakan belakangan ini. []