Scroll untuk baca artikel
Terkini

Dekriminalisasi Bukan Berarti Melegalisasi Penggunaan Narkotika

Redaksi
×

Dekriminalisasi Bukan Berarti Melegalisasi Penggunaan Narkotika

Sebarkan artikel ini

Penggunaan narkotika itu dilarang dalam konteks hukum. Namun, perlu ditekankan dalam skema dekriminalisasi, yang dihilangkan adalah sifat kriminal dari pengguna, sehingga tidak diberlakukan pidana atas perbuatan tersebut.

BARISAN.CO – Pecandu narkotika tidak seharusnya dijatuhi hukuman penjara, karena sejatinya, pecandu narkotika tidak bisa dianggap sebagai pelanggar tindak pidana, tetapi sebagai korban yang harus diobati. Dengan demikian, seharusnya para pecandu narkotika haruslah direhabilitasi, bukan dijebloskan ke dalam bui.

Pemerintah saat ini berupaya melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika agar lebih berorientasi pada keadilan restoratif. Revisi UU ini diharapkan tidak memindahkan persoalan dari kepadatan di lembaga pemasyarakatan ke pusat rehabilitasi.

Sebab, jika itu yang terjadi, negara akan mengeluarkan biaya yang tidak murah dibandingkan dengan ketika pengguna atau pemakai narkotika dipenjarakan. Oleh karena itu, pendekatan dekriminalisasi pengguna narkotika dapat menjadi pilihan perspektif bagi pembuat UU untuk mencegah dampak tidak diinginkan tersebut.

Namun, pendekatan ini bukan berarti melegalisasi penggunaan narkotika. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perdagangan dapat menjadi regulator untuk mengatur peredaran serta distribusi narkotika untuk kepentingan medis atau kepentingan lain yang diperbolehkan.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai, langkah ini dapat dilakukan dengan pendekatan dekriminalisasi pengguna narkotika. Menurutnya, saat ini Indonesia memiliki permasalahan khusus dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika bagi pengguna.

“Mengapa skema dekriminalisasi yang dikedepankan? Melihat kondisi Indonesia saat ini, kita punya permasalahan. 100 ribu pengguna narkotika dikirim ke penjara, yang mana penjaranya itu bukan tempat yang tepat untuk mereka,” ujar Maidina dalam forum diseminasi penelitian bertajuk Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang disiarkan di kanal YouTube IJRS TV, sebagaimana dipantau redaksi pada Rabu (28/6/2022).

Maidina mengatakan, skema dekriminalisasi bisa menghadirkan definisi bahwa perbuatan menguasai atau menggunakan narkotika itu dilarang dalam konteks hukum. Namun, perlu ditekankan, yang dihilangkan adalah sifat kriminal dari pengguna, sehingga tidak diberlakukan pidana atas perbuatan tersebut.

“Yang ditekankan lagi-lagi dekriminalisasi bukan soal legalisasi. Kita bukan berarti membiarkan orang menggunakan narkotika, narkotika dapat dijual bebas dan nggak diapa-apain. Tapi justru kita memastikan, bahwa orang-orang yang kita tolong, yang menggunakan narkotika itu, tidak masuk dalam sistem peradilan pidana,” tutur Maidina.

Salah satu dampaknya, kata Maidina, adalah peredaran gelap narkotika di rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas). Pihaknya menyebut, hal ini sulit dikendalikan karena tidak adanya intervensi bagi pengguna narkotika.

“Dikirim ke penjara, di penjara ada pasar bebasnya. Ada peredaran gelap narkotika yang mana susah sekali dikendalikan. Ya wajar ketika itu sulit dikendalikan, karena orang-orang yang membutuhkan narkotika itu nggak diintervensi berbasis kesehatan,” katanya.

Maidina menambahkan, intervensi pemerintah tetap dibutuhkan dalam skema dekriminalisasi pengguna narkotika. Intervensi ini dapat dilihat melalui rehabilitasi atau konteks kesehatan lainnya.

“Yang perlu kita tekankan, konteks intervensi bagi pengguna narkotika tidak harus rehabilitasi, tapi kemudian ada skema lain yang kita lakukan bagi pengguna, misal konteks konseling atau konteks kesehatan yg lain,” ujarnya.

Selain itu, kata Maidina, pemerintah bisa memberdayakan sistem kesehatan yang sudah ada untuk melakukan intervensi dalam konteks kesehatan. Misalnya, melalui asesmen yang dilakukan tenaga kesehatan (nakes) seperti psikolog dan psikiater di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).