Namun hanya terhadap Habib Rizieq Shihab yang dalam proses pcnegakan hukumnya dilakukan secara keras berdasarkan tekanan publik yang didasarkan kebencian kepada sosok Habib Rizieq Shihab sebagai tokoh Islam yang gigih memperjuangkan amar ma’ruf nahimunkar serta melakukan pembelaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam, sebut Ferry.
Kedua lanjut Ferry, begitu juga terhadap kasus yang menimpa Munarman yang divonis bersalah karena melanggar ketentuan Pasal 13C Perppu Nomor I Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketentuan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut mengatur tindak pidana menyembunyikan informasi terkait terorisme.
Munarman dalam kegiatan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan vonis tidak terbukti ikut berbaiat maupun juga melakukan tindak terorisme lainnya.
“Dari sejak awal proses hukum terhadap Munarman sangat kental rekayasa penuh dengan tekanan publik yang didasarkan pada kebencian yang dikarenakan sosok Munarman sebagai tokoh Islam yang gigih memperjuangkan amar ma ‘ruf nahi munkar serta melakukan pembelaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam. Terakhir terhadap aktivis Islam lainnya yang tersangkut masalah hukum terkait UU ITE. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional terikat”, tegas Ferry.
Ferry menegaskan, dengan resolusi PBB tentang Anti Islamophobia yang oleh karenanya segala tindakan maupun ucapan yang berbentuk prasangka diskriminasi, ketakutan, ujaran kebencian terhadap Islam dan kaum muslim barus dihapuskan, khususnya kepada Habib Rizieq Shihab dan Munarman yang sekarang ini mereka dengan penuh tanggung jawab menjalankan hukumannya sebagaimana vonis yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim.
“Namun untuk menghapuskan sikap Anti Islamophobia di Indonesia dalam kasus konkret yang menimpa Habib Rizieq Shihab, Munarman dan aktivis Islam lainnya, menurut pandangan dan keyakinan kami Bapak Presiden dapat menggunakan hak ekslusif sebagai Kepala Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 untuk memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti maupun abolisi kepada mereka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi tegaknya hukum dan keadilan serta demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal dasar utama dalam menjalankan pembangunan nasional”, pungkas Ferry. [rif]