Esai

Diaspora Politik

Eko Tunas
×

Diaspora Politik

Sebarkan artikel ini
diaspora politik
Ilustrasi foto: Pixabay.com

Politik kebudayaan yang berganti politik ekonomi merubah segalanya. Politik ekonomi yang berujung pada kapitalisme-liberalisme, telah mengubah: dari manusia menjelma binatang ekonomi.

DIASPORA politik, pengembangan partai politik dari parpol yang sebelumnya pernah ada. Benarkah terjadi. Pada kenyataannya, seperti kata banyak ahli. Diaspora yang terjadi bersifat tunggal.

Indonesia menganut sistem banyak partai. Belum tentu parpol yang ada beragam ideologi. Hitung saja parpol peserta pemilu 2024. Tujuh belas partai, dan itu persoalan besar bagi bangsa yang tengah belajar reformasi.

Menggunakan bahasa AADC untuk Adolf Hitler: reformasi itu berat, biar saya saja. Sebabnya, reformasi itu beda dengan revolusi. Kalau revolusi ibarat mencabut pohon seakarnya. Maka, reformasi bagaikan mencabuti rumput di dalam hutan.

Pada kenyataannya, reformasi di negeri ini telah gagal. Gagal mereform dasar politik kebudayaan yang telah diporanda politik ekonomi. Segalanya telah berubah, bersama politik dan kebudayaan yang berakhir di 1965. Oleh peristiwa paling berdarah itu.

Akibat yang ada, tatkala engkau berkebudayaan tidak ada budaya di pikiranmu. Tidak ada puisi, kata Rendra, yang ada sajak tentang anggur dan rembulan. Kala engkau berparpol, tidak ada politik di otakmu. Yang ada perhitungan laba-rugi, kata Soebagyo Sastrowardojo, dan keluh tangga kurang makan.

Seorang pakar hukum dan tatanegara berkata. Banyak partai sekarang adalah diaspora dari Golkar di era orde baru. Partai yang berkuasa, single majority. Rezim otoriter-militerian yang berkuasa 35 tahun.

Zaman tiga partai. PPP, Golkar, PDI. Lalu bagaimana dengan PPP dan PDI. Adakah partai sekarang yang lahir dari diaspora dua partai itu. Sang pakar tetap bersikukuh, semua diaspora dari Golkar.

Sebagai contoh sang pakar bertanya: apa beda Gerindra dengan Nasdem. Ditilik para ketumnya memang tunggal. Keduanya adalah tokoh Golkar pada jamannya.

Pertanyaannya, sejak matinya politik kebudayaan di 1965. Adakah kebudayaan. Adakah politik. Dan pada gilirannya, adakah partai politik.

Politik kebudayaan yang berganti politik ekonomi merubah segalanya. Politik ekonomi yang berujung pada kapitalisme-liberalisme, telah mengubah: dari manusia menjelma binatang ekonomi.

Seorang pelacur pun berkata: kalau di sakumu tidak ada uang, maka tidak ada kebahagiaan untukmu.*