AWAL era pemerintahan SBY, akhir tahun 2004, utang pemerintah dalam nilai rupiah tercatat sebesar Rp1.300 trilyun. Jika dinyatakan dalam nilai dolar Amerika, nilainya sebesar US$140 milyar.
Kondisi perekonomian secara umum telah pulih dari krisis ekonomi dan moneter 1997/1998. Kondisi anggaran pemerintah pun tampak membaik, antara lain ditandai turunnya nominal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2005 dan 2006 sehingga lebih rendah dibanding era pemerintahan sebelumnya.
Nominal defisit pada tahun 2007 memang kembali meningkat, namun secara persentase dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih tetap lebih rendah. Nominal defisit kembali turun sangat signifikan pada tahun 2008, hingga mendekati nol atau hanya sebesar Rp4 triliun. Merupakan rekor nominal defisit terendah selama era reformasi.
Kondisi defisit APBN yang relatif baik itu ditopang oleh pendapatan negara yang terus meningkat. Naiknya pendapatan disebabkan oleh perekonomian yang pulih dari krisis serta kenaikan harga komoditas yang diproduksi dan diekspor Indonesia.
Hal itu berpengaruh langsung pada pengelolaan dan kondisi utang pemerintah. Tentu saja era SBY masih terbebani posisi utang dan beban pelunasan utang pokok dan bunganya. Namun, pada dua tahun pertama (2005 dan 2006), kebutuhan berutang baru dapat ditekan secara signifikan.
Bahkan, pemerintahan SBY memutuskan untuk melunasi sisa utang kepada International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2006 sebelum waktu jatuh temponya. Hanya perlu diketahui bahwa sisa utang itu adalah standby loan, yang sebenarnya belum digunakan. Sederhananya dikembalikan atau tidak jadi dipakai. Salah satu pertimbangannya mesti bayar bunga, padahal kondisi ekonomi nasional yang telah pulih tidak membutuhkan dana berjaga-jaga semacam itu lagi.
Tidak hanya utang kepada IMF, pemerintahan SBY tampak memang berencana mengurangi posisi pinjaman luar negeri. Penarikan utang baru jenis ini selalu lebih kecil dibanding pelunasan utang lamanya pada tiap tahun hingga akhir periode pertama (2009). Dengan demikian, sisa pinjaman luar negeri turun secara perlahan.
Akan tetapi tidak berarti utang keseluruhannya menjadi berkurang. Surat Berharga Negara (SBN) menjadi instrumen berutang yang makin dikembangkan. Hanya dua tahun awal yang relatif masih kecil. Pada tiga tahun selanjutnya, berutang melalui SBN meningkat sangat pesat.
Posisi utang pada akhir era SBY pertama (akhir tahun 2009) tercatat sebesar Rp1.590 triliun atau naik 22,31% dari awal periode. Dalam denominasi dolar Amerika, menjadi US$169 miliar atau naik 20,98%. Hal ini menandakan nilai kurs dolar atas rupiah relatif stabil selama lima tahun tersebut.
Sayangnya, kondisi anggaran negara pada era pemerintahan SBY kedua dilihat dari nominal defisit tidak sebaik sebelumnya. Terutama pada tiga tahun terakhir (2012-2014) yang mencatatkan defisit cukup lebar.
Pendapatan sebenarnya masih tumbuh cukup pesat, di kisaran 13% tiap tahun. Sedikit lebih rendah dibanding periode pertama yang rata-rata tumbuh di kisaran 17,5% per tahun. Akan tetapi laju kenaikan belanja negara tercatat lebih pesat, mencapai rata-rata 14% per tahun.
Laju kenaikan belanja yang pesat itu antara lain disebabkan oleh kebijakan memberi subsidi dan bantuan sosial yang cukup banyak. Pengeluaran demikian bepengaruh sangat besar pada nilai belanja negara. Terutama berupa subsidi BBM. Padahal tingkat konsumsi masyarakat dan industri terus meningkat.
Selain itu, pemerintah melakukan pengeluaran pembiayaan yang juga melonjak. Baik untuk melunasi utang pokok yang telah jatuh tempo, maupun pengeluaran investasi. Berkaitan dengan investasi, sebenarnya beberapa proyek infrastruktur besar telah dimulai pada era ini.
Bagaimanapun, kenaikan posisi utang pada era pemerintahan SBY kedua tercatat lebih pesat dari era pertama. Dilihat dalam nilai rupiah, naik sebesar 64% menjadi Rp2.609 triliun pada akhir 2014. Jika dilihat dalam nilai dolar hanya meningkat sebesar 24% menjadi US$210 miliar.
Dengan demikian, posisi utang tercatat bertambah, baik pada pemerintahan SBY pertama maupun yang kedua. Akan tetapi, hal itu diimbangi oleh laju pertumbuhan nilai nominal PDB. Akibatnya, rasio utang pemerintah atas PDB cenderung menurun. Pada periode pertama, turun dari 56,60% menjadi 28,37%. Masih dapat diturunkan lagi menjadi 24,68% pada akhir 2014.
Jika dibandingkan dengan laju kenaikan pendapatan negara, maka pada periode pertama SBY, laju kenaikan utang juga tercatat lebih lambat. Akibatnya, rasio utang dengan pendapatan turun sangat signifikan. Dari 322,16% (akhir 2014) menjadi 187,41% (akhir 2009).
Pada era kedua, laju kenaikan pendapatan negara hanya sedikit lebih tinggi dari kenaikan posisi utang. Rasio masih bisa sedikit diturunkan, hingga hanya 147,80% pada akhir 2012. Namun kembali meningkat hingga mencapai 168,26%pada akhir tahun 2014. Bagaimanapun, masih tercatat lebih rendah dibanding awal periode kedua.
Berdasar kedua rasio tadi, pendukung SBY bisa saja mengklaim bahwa utang pemerintah bersifat produktif. Laju kenaikan PDB dan pendapatan negara ternyata lebih pesat dari kenaikan utang.
Bagi pembelajar ekonomi yang independen mungkin akan mengajukan kritik bahwa era tersebut harusnya bisa mengambil kebijakan berutang yang lebih baik. Ada kesempatan luas untuk menekan tambahan utang, namun belanja masih tampak “boros” atau tidak efisien dan efektif. Diantara kritik utama adalah atas belanja subsidi dan program penanggulangan kemiskinan yang hasilnya pun tak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan.
Bisa pula berandai-andai, umpama laju kenaikan utang tetap seperti yang terjadi, namun alokasinya terutama dipakai membangun infrastruktur serta memperkuat fundamental ekonomi. Besar kemungkinan kondisi perekonomian yang diwariskan pada era selanjutnya akan jauh lebih baik. [rif]