Dalam satu keputusan administratif, benteng ekologis yang menjaga keseimbangan alam selama berabad-abad berubah menjadi barisan tanaman monokultur. Ketika air bah datang membawa lumpur dan gelondongan kayu, masyarakat menanggung akibatnya.
Sementara itu, pemberi dan penerima izin berlindung di balik kewenangan formal. Inilah wajah korupsi kebijakan yang paling telanjang: sah secara hukum, tetapi tidak sah secara moral.
Dalam penyusunan undang-undang, masalah serupa muncul. Proses legislasi yang tertutup, minim konsultasi publik, dan sarat lobi politik telah melahirkan regulasi yang lebih berpihak pada pemilik modal daripada rakyat.
Revisi undang-undang yang melemahkan lembaga pemberantas korupsi serta aturan minerba yang meneguhkan dominasi korporasi besar hanyalah sebagian contoh. Publik hanya diberi kesempatan mengetahui hasil akhirnya tanpa terlibat dalam prosesnya.
Ketika hukum telah menjadi alat kekuasaan, bukan penopang keadilan, maka di sanalah kejahatan legislasi berakar.
Padahal negara dibentuk bukan untuk mendominasi rakyat, melainkan untuk melayani mereka. Pemerintah semestinya menjadi tempat warga mencari perlindungan, bukan sumber kebijakan yang menambah penderitaan.
Ketika keputusan publik lebih sering ditentukan oleh kepentingan politik atau ekonomi daripada keselamatan warga, tatanan etika pemerintahan telah runtuh. Kejahatan legislasi bukan hanya merusak materi, tetapi juga merusak kepercayaan dan ketika kepercayaan hilang, negara kehilangan fondasinya.
Karena itu, pencegahan kerusakan tidak cukup hanya dengan memperketat pengawasan anggaran atau menghukum pelaku suap. Kita harus memastikan cara sebuah aturan dilahirkan. Setiap izin dan undang-undang harus melewati proses yang transparan, berbasis bukti ilmiah, dan melibatkan masyarakat.
Tanpa hal ini, kita hanya mengulang tragedi yang sama: bukit ditambang, hutan ditebang, sungai rusak, desa tenggelam, lalu pemerintah menyebutnya musibah alam. Padahal “musibah” itu lebih sering merupakan hasil dari keputusan manusia, bukan kemurkaan Tuhan.
Kejahatan legislasi mungkin tidak menimbulkan sensasi seperti operasi tangkap tangan, tetapi jejaknya ada di mana-mana: pada banjir yang tak kunjung surut, pada longsor yang menelan permukiman, pada udara yang penuh debu tambang, dan pada generasi yang tumbuh tanpa hutan.
Inilah bentuk korupsi yang paling berbahaya, karena dilakukan oleh pena yang mengatur hidup orang banyak. Dan jika bangsa ini sungguh ingin berdaulat, maka keberanian terbesar bukan hanya menangkap mereka yang menerima suap, tetapi menghentikan lahirnya kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat.









