Ekonomi Indonesia diprediksi cerah di akhir 2025 berkat puncak belanja pemerintah, musim panen, dan momentum libur akhir tahun. Namun, jutaan pengangguran dan penduduk miskin masih terjepit, membuktikan pertumbuhan belum menyentuh akar persoalan rakyat.
MENTERI Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan optimisme bahwa ekonomi Indonesia cerah bakal membaik dalam 2–3 bulan ke depan.
Dalam perspektif fiskal, optimisme ini bisa dibenarkan. Setiap Triwulan IV—yakni Oktober hingga Desember menandai puncak realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah.
Ini bukan kejadian baru, melainkan pola yang selalu diulang lewat pengelolaan APBN dan APBD. Di kuartal ini pula, paket-paket seperti gaji ke-13, bantuan sosial, proyek infrastruktur, dan juga belanja barang dan jasa disalurkan, demi mengejar target serapan anggaran.
Laju aliran dana sememangnya mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga, membangkitkan gairah usaha, dan menggerakkan efek multiplikatif ke arah ekonomi riil.
Selain dorongan fiskal, sejumlah faktor tambahan memperkuat potensi pemulihan ekonomi di triwulan akhir. Musim panen sejumlah komoditas utama semakin memperkuat daya beli petani dan penyedia makanan lokal.
Ditambah momentum libur Natal dan Tahun Baru memberi ruang bagi aktivitas pariwisata, transportasi, dan perdagangan ritel mengalami lonjakan.
Dalam konteks politik, tahun 2025 juga menandai masa awal pemerintahan Prabowo–Gibran. Sejumlah program stímulus, bansos, dan percepatan ekonomi resmi diluncurkan dalam triwulan IV dengan tujuan menjaga stabilitas politik dan sosial sekaligus memacu pertumbuhan.
Namun, semua optimisme tersebut harus diuji dengan realitas di lapangan. Pertama, data resmi menunjukkan masih banyaknya tenaga kerja yang sulit memperoleh pekerjaan layak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76 %, setara dengan 7,28 juta orang yang belum terserap pasar kerja.
Angka tersebut menjadikan Indonesia memiliki tingkat pengangguran tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN.
Kedua, masalah kemiskinan juga belum tuntas. Pada Maret 2025, BPS mencatat jumlah penduduk miskin sebesar 23,85 juta jiwa, atau sekitar 8,47% penduduk.
Sementara, kemiskinan ekstrem meski menurun, masih mencakup sekitar 0,85% penduduk, yaitu sekitar 2,38 juta jiwa.
Bayangkan: di satu sisi, pemerintah akan menyalurkan dana besar akhir tahun demi mengejar angka-angka postif makro.
Namun sangat ironis, jika nantinya masih ada jutaan masyarakat kecil tetap sulit mengakses pekerjaan, pangan terjangkau, dan perlindungan sosial memadai.
Efek multiplier itu memang mendorong transaksi ekonomi, tapi tidak otomatis menciptakan kesejahteraan merata.
Di sisi lain, program bansos dan stimulus cenderung temporer, sulit memupuk keterampilan dan kemandirian ekonomi jangka panjang bagi mereka yang rentan.









