“Kurangnya optimalisasi belanja publik bisa mengurangi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya “shock absorbing capacity” atau kemampuan menyerap guncangan seperti krisis keuangan, pandemi, inflasi ekstrem, dan konflik geopolitik.
Menurutnya, kemandirian pangan dan energi menjadi penyangga utama dalam menghadapi ketidakpastian global.
Tak hanya itu, Prof. Syakir menyoroti pentingnya kapasitas adaptif terhadap perubahan struktural ekonomi melalui diversifikasi dan inovasi teknologi.
Ia menyebut digitalisasi sebagai contoh konkret, seperti yang dilakukan Estonia di sektor publik, serta Indonesia dalam mendorong UMKM pasca-pandemi.
“Kita tidak cukup hanya pulih dari krisis. Kita harus bangkit dan melakukan transformasi menjadi ekonomi yang lebih tangguh dan efisien. Contohnya, setelah pandemi, ada potensi besar di sektor hijau dan digital yang berkelanjutan,” katanya.
Ia menyinggung persoalan lokal seperti penggunaan plastik yang berlebihan dan rob akibat eksploitasi air tanah di Jawa Tengah sebagai krisis faktual yang harus ditanggapi dengan perubahan perilaku dan kebijakan. []